Senin, 13 Desember 2021

Kapan Nadi Ini Kukoyak?

 

 Kapan Nadi Ini Kukoyak?

Kapan Nadi Ini Kukoyak?
Pixabay


Setiap kali aku menatap pergelangan tanganku, kadang pemikiranku untuk mengoyaknya semakin tajam dan semakin tergambar jelas. Namun imajinasiku sebatas rasio dan bukan empiris, sebab pada akhirnya, aku hanya bisa membayangkan hal itu terjadi, sementara dikmudian hari apakah hal itu menjadi kenyataan atau hanya sekedar bayangan, aku tidak tahu.

Pun jika aku harus mengoyak tanganku dengan silet, aku tidak tahu harus seberapa dalam dan akan seberapa menyakitkan. Sebab dulu aku pernah mencoba menenggalamkan diriku sendiri pada sebuah bak berisi air ketika aku masih kecil, menahan napas sebisa mungkin sampai aku tidak mampu dan diriku terpaksa terjungkal dengan napas terengah-engah.

Pada hakikatnya, tubuh kita, semua bagian sel dari tubuh kita telah dirancang Tuhan untuk menjaga manusia dari marabahaya. Bahkan otak kita sendiri pun dirancang demikian agar kita bisa menjaga diri serta menganalisa apa yang akan terjadi.

Memang pada akhirnya dengan adanya akal yang semakin meninggi kita akan semakin maju, akan tetapi ada iman yang ditinggalkan manusia, satu persatu hingga kita mungkin mengatakan bahwasanya diri kita sendirilah yang sebenarnya Tuhan, dan Tuhan hanyalah karangan manusia.

Namun terlepas dari semua itu, apakah kemampuan tersebut adalah berkah dari Tuhan atau malapetaka, aku tidak tahu. Bahkan ketika aku semakin beranjak dewasa, aku semakin jauh dari-Nya. Bahkan sampai berpikir bahwasanya Tuhan semestinya tidak terlalu ikut campur akan urusan yang dimiliki manusia, Tuhan cukup menciptakan dan menyaksikan, dan entah apa suatu saat nanti manusia membawa diri mereka kepada kehancuran, tidak pernah ada yang tahu, pun Tuhan yang tahu hal itu pasti hanya diam saja.

Aku juga menulis ini di blog dan bukan Kompasiana karena aku tahu bahwa mereka yang singgah di blog ini hanya sekedar melihat informasi belaka, dan lagipula, blog ini masih teramat-amat baru sehingga menjadi alasan adsense menolaknya. Visitornya juga sedikit, jadi apakah hal itu malapetaka? Oh, tidak juga, sebab aku bisa melakukan semaunya di blog ini, menulis apapun tentang depresi dan kekonyolan, atau apapun jua. Kadang tidak terlihat dan dianggap ada adalah anugerah, dan kini aku merasakannya.

Tadi malam aku krisis mental lagi, bercerita pada temanku juga ternyata tidak memperbaiki apapun. Mood yang kumiliki rusak dan berantakan, pikiranku melayang-layang dan bertabrakan, tugasku menumpuk, tuntutan hidup dari keluarga juga semakin meningkat, aku merasakan diriku terhujam berkali-kali oleh belati tak kasat namun mampu menembus jantung.

Aku ambruk. Dan yang kuharapkan adalah Tuhan yang segera mencabut nyawaku. Aku merintih dalam sunyi, ingin menangis dalam-dalam namun air mata yang kumiliki menolak untuk keluar. Aku tidak ingin hidup lagi, cukup, semua kebohongan dari orang-orang yang aku percayai dan orang-orang yang aku sayangi, cukup.

Setiap kali aku melihat pergelangan tanganku, aku menatap nadi yang berdenyut itu berkali-kali, menanyakan harus seberapa dalam dan seberapa menyakitkan hal yang harus kutempuh. Bertanya harus berapa gesekan dan berapa tajam pisau yang akan aku gunakan, aku bertanya berkali-kali dan berharap hal itu terjadi. Namun ketika aku ingin melakukannya, bayangan-bayangan yang lain muncul, setiap perasaan yang mungkin akan aku tinggalkan, setiap senyuman dan tawa yang aku berikan kepada orang, akankah ia menjadi air mata?

Aku mencintai kalian kendati aku memiliki jiwa dan tubuh yang lemah, berharap bisa bersama kalian terus menerus, berharap bersama kalian sampai Tuhan yang mengakhiri bab buku kehidupan yang aku jalani dengan indah.

Dan setiap mimpi yang pernah aku tulis diatas kertas, setiap lirik musik yang entah kapan aku lantunkan, setiap bait puisi yang kadang aku renungkan…. 

Maafkan aku, aku tidak mampu…

Aku ingin pulang walau aku nggak tahu harus pulang kemana lagi, bahkan jika aku pada akhirnya aku akan melakukannya, akankah Tuhan menerimaku sebagai manusia yang kalah? Dan nanti bila tubuhku terkubur di tanah, siapa yang akan memeluknya? Akankah aku sendiri?

Aku berharap Tuhan tidak pernah ada, aku berharap diriku tidak pernah diciptakan, aku berharap hidupku berakhir begitu saja. Namun Tuhan, kau hanya berkata untuk sabar dan terus bersabar, aku tidak mampu lagi, bahkan ketika engkau mengatakan akan memberikan kami ‘hadiah’ dari arah yang tidak disangka-sangka, aku terkadang tidak peduli lagi. Namun jika hadiah itu memanglah perintah mati, aku berharap hadiah itu cepat datangnya.

Untuk kalian, jika pada suatu saat nanti kalian membaca tulisan ini. Maafkan aku yang telah begitu lemah sehingga kalian membaca curhatan brengsek ini. Pergilah, aku sedang ingin sendiri, berbicara dengan diriku pribadi, tulisan ini bukan untuk siapapun, dan semoga Tuhan mengabulkan doa itu.

Aku telah kehilangan makna dan pemaknaan, cinta dan kasih kini hanya ilusi. Kerapkali aku merasakan Tuhan hadir, memelukku sejenak dalam diam dan sunyi dengan ketenangannya. Namun tidak pernah cukup, duniaku terlalu berisik, kesunyian yang aku miliki hanya ilusi.

Aku tidak tahu apakah nadi yang kumiliki akan selamanya utuh dan berdenyut. Pada suatu masa yang bergerak maju, apapun yang terjadi-terjadilah. Jika pada akhirnya Tuhan menyuruhku untuk bersabar lagi, jika pada akhirnya imajinasiku menjelma nyata, aku sudah tidak memikirkannya lagi.

Pada suatu titik, apa yang terjadi, terjadilah….

Lagipula aku tidak akan pernah tahu akan semenyakitkan apa, akan sedalam apa, erntahlah….


Share:

Minggu, 12 Desember 2021

Terkadang, Aku Berharap Diriku Tidak Pernah Dilahirkan

 

 Terkadang, Aku Berharap Diriku Tidak Pernah Dilahirkan

Aku mungkin hanya segumpal daging kegagalan yang berjalan tiada tentu arah, memandang dunia sialan ini sebagai kutukan yang membersamaiku sampai aku benar-benar terlepas. Aku tidak seperti kebanyakan orang yang memiliki mental yang kuat, dan aku menyadarinya. Terkadang mungkin aku mungkin akan seperti Arthur Fleck yang tertawa tanpa sebab, entah karena aku memiliki kelainan jiwa, atau mungkin tawa itu adalah bukti nyata bahwa selama ini aku merasa kesepian.

Terkadang, Aku Berharap Diriku Tidak Pernah Dilahirkan
Pixabay

Tulisan ini juga aku tulis dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, entah mengapa belakangan ini kepalaku terasa seperti gunung yang siap meledak, aku kerapkali tiba-tiba pusing, terkadang juga mual. Dugaan terburukku adalah aku terkena penyakit kangker, dugaan terbaik ia hanyalah pusing biasa dan bisa dibunuh hanya dengan sebutir Paracetamol.

Namun menatap dunia yang penuh keajabian ini melalui kacamata yang suram hanya membawaku pada rasa yang hampa, aku melihat gelapnya saja, memang begitu banyak kemilau yang mungkin saja diriku abaikan, akan tetapi, gelapnya lebih sering membersamaiku dan membawaku pada realita hidup yang aku pijaki.

Aku telah gagal berkali-kali, dan sekali lagi, aku gagal. Namun waktuku masih panjang, aku masih bisa mengurai-ngurai cerita, akan tetapi aku merasa muak, lumpur kegagalan itu tidak hanya menenggelamkan aku begitu dalam, namun melainkan telah masuk kedalam mulutku dan bersemayang didalam organ-organ tubuh.

Aku ingin menyerah, terkadang berdoa kepada Tuhan mengapa bukan diriku yang tidak berguna ini saja yang tercerabut nyawanya, mengapa harus orang lain? Dan terkadang mengapa harus orang yang kita cintai? Aku lelah Tuhan, aku lelah. Apa dosaku masih terlalu banyak sehingga engkau tidak mau menerimaku?

Hidupku juga dipenuhi banyak tuntutan, dan bukan hanya faktor eksternal, melainkan juga faktor internal. Faktor eksternalnya adalah aku harus menjadi ini dan itu, harus mendapatkan IPK segini dan segitu, harus empat, ya, harus empat, agar besok bisa kita pamerkan pada dunia sembari berteriak; Hey Dunia! Diatasmu pernah ada manusia yang memiliki IPK empat! IPK sempurna!

Dan aku juga menjadi lelah, mungkin karena terlalu menuntut diriku sendiri, mengatakan semangat kecil kepada diriku sendiri dan berkata, ayo, kamu pasti bisa! Namun ternyata aku tidak bisa. Bahkan mengerjakan tugas-tugas sesederhana itu saja aku tidak mampu, bodoh? Ya, aku sangat teramat bodoh, namun aku selalu mencoba dan mencoba kendati harus memeluk kegagalan berkali-kali.

“Setidaknya kita pernah mencoba” Aku mengatakan hal itu berkali-kali, entah mengatakan kepada tubuhku yang selalu aku paksakan, atau mengatakannya kepada jiwaku yang sudah teramat lelah. 

Bahkan terkadang, aku berimajinasi bahwa diriku mati, entah terbunuh atau bunuh diri. Namun aku juga tidak tahu kenapa aku masih hidup, apa mungkin aku yang terlalu pengecut untuk mati? Atau apa mungkin itu karena ketidaktahuanku akan kematian itu sendiri? Begitu banyak bayangan, begitu banyak imaji yang nyatanya tidak pernah terealisasi.

Terkadang diriku juga bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi? Dan melalui perenungan yang aku lakukan, sebenarnya jawabannya sederhana, karena aku sudah tidak lagi bersyukur atas apa yang masih aku miliki, aku hidup dari ekspektasi-ekspektasi yang tidak pernah terpenuhi, hal yang pada akhirnya membuat diriku merasa gagal dan tidak pantas untuk hidup.

Padahal dibandingkan orang lain, aku bisa katakan kehidupan yang aku miliki sudah setengah sempurna. Aku memiliki mata yang indah, memiliki ide dan kreatifitas yang kerapkali dibanggakan teman-temanku, aku memiliki tubuh yang sehat, dan setidaknya memiliki latar pendidikan yang baik disaat jutaan orang lain diluar sana hanya bisa memandang manusia-manusia berseragam bagai malaikat yang patut dipuja.

Aku mungkin terlalu bodoh dan hanya melihat gelapnya saja, sebab begitu banyak rahmat yang selama ini aku lupakan dan tidak terjangkau oleh mataku, dan parahnya adalah, terkadang aku tidak peduli, aku egois, mengatakan kepada diriku sendiri bahwa apa yang semestinya aku miliki harus aku miliki. Padahal hal-hal itu berujung membuatku melayang pada dunia ekspektasi, dan terlalu banyak ekspektasi pada akhirnya membuat kita terjun bebas ke jurang depresi.

Dengan kegagalan yang menimpaku, kemalangan, ekspektasi yang tidak pernah terpenuhi kadang membuatku berkata bahwasanya aku tidak pernah pantas untuk dilahirkan. Aku kerapkali berharap demikian, padahal aku selalu mengingat bahwasanya aku dulu hanyalah satu dari sekian milyaran sperma yang memperjuangkan ovarium, dan pada saat itu, aku menang.

Benar, aku menang. Begitu banyak sperma yang mati karena kelelahan berenang dengan jarak yang teramat-amat jauh, namun lihatlah, dulu saat aku berbentuk sperma memenangkan pertempurannnya, yang berarti dalam hal ini, aku adalah seorang pemenang, namun keluar dari vagina seorang wanita, kenapa aku malah menjadi seorang pecundang?

Atau mungkin semua perenunganku benar adanya, bahwa sebenarnya kalah dan menang hanya sudut pandang manusia belaka. Atau mungkin sebenarnya kemenangan dan kekalahan itu hanyalah imaji yang otak kita ciptakan, sebab  bagaimanapun, kemenangan dan kekalahan itu hanyalah sebuah relativitas. Dan dalam dunia relativitas, tidak pernah ada yang namanya menang, dan tidak pernah ada yang namanya kalah.

Tulisan ini aku tulis saat aku merasa kalah, melihat dunia dari sudut mata seorang lelaki yang pernah mencoba namun kembali terjatuh dan terluka. Mungkin aku akan mencoba lagi, berharap memiliki peruntungan untuk bisa menjadi seorang pemenang yang diriku ekspektasikan. Namun untuk saat ini, sebelum kesuksesan itu bisa kita gapai, mau tidak mau aku harus berenang di lumpur kegagalan terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya menemukan makna dari kesuksesan yang kita miliki. 

Sebab bagaimanapun, apapun yang kita miliki akan berharga bila kita merasa memperjuangkannya, sampai suatu titik kita akan menarik napas panjang dan berkata…aku memang pantas mendapatkannya.



Share:

Senin, 04 Oktober 2021

“Sial”

 

Hari ini selepas penjas yang hanya memberikan materi, pak dosen Syarif Mubarak mengambil tempat pada jam 10.53 untuk mengajari kami Bahasa Inggris. Dan aku tidak mempermasalahkan semua itu, aku mempermasalahkan pelajaran.

Sedari dulu aku mempercayai bahwa sekolah adalah sejumput kekangan, terlebih dengan dosen yang selalu merasa bahwa diri mereka harus diikuti, mereka tidak pernah menganggap manusia sebagai manusia, melainkan seekor kambing yang bisa mereka tarik kemana-mana.

Share:

Kamis, 23 September 2021

Dari Hambamu Yang Capek


Aku berpikir bahwa Tuhan mungkin hanyalah kata, atau pelarian untuk menjawab hal yang tidak bisa diuntai manusia. Aku kadang skeptis akan kehidupan, kendati mengetahui ada begitu banyak orang baik di muka bumi ini, aku tetap skeptis.

Tadi malam aku memutuskan tidur tanpa sholat Isya terlebih dahulu, kubiarkan jiwa dan ragaku beristirahat dalam sunyinya malam dan membiarkan mereka yang menelponku hanya memeluk angin. Aku tidur begitu lelap sampai lupa bahwa aku sempat bermimpi, namun tidak berapa lama berlalu aku kembali terbangun dengan perasaan yang sama.

Aku terbangun pada jam satu malam, tepat jam satu. Ini tentu lucu kalau kita bawa ke ranah horor karena aku sempat menemukan cerita kalau ternyata ketika manusia terbangun tengah malam, maka sebenarnya ada makhluk dari dunia lain yang ingin berbincang dengan kita, jadi aku bisa membayangkan bahwa ketika itu sosok tersebut akan berdiri disamping kasur dan terus memandangiku dengan matanya yang merah darah.

Namun aku tidak mempercayai hantu, aku mempercayai jin, tapi untuk hantu, tidak. Namun mungkin karena hantu adalah sebutan untuk para jin usil yang mengganggu manusia, atau mungkin adalah jin yang memang jahat.

Jam satu tidak banyak yang bisa aku lakukan, malam begitu sunyi dan diluar begitu gelap, aku tidak menemukan apapun selain kesunyian yang merengkuh semesta, diluar sana bulir-bulir embun mungkin sedang berderap rapi menuju bumi, muncul satu persatu diantara daun-daun yang semakin menguning.

Dan aku belum sholat isya.

Sial memang, akan tetapi aku memilih untuk merebah dan menutup mata, kendati malam telah larut dan Tuhan selalu menunggu, namun mungkin aku merasa hamba yang tentu tidak dibutuhkan Tuhan, ada begitu banyak manusia yang bercerita malam ini, namun aku tidak bercerita, ada begitu banyak umat manusia berdosa yang membutuhkan Tuhan malam ini, tapi aku merasa tidak.

Sebenarnya begitu indah bila kita jatuh pada pelukan Tuhan, membiarkan Ia memeluk kita dengan Tangan tak kasatnya, atau mungkin kita berbaring diatas pangkuannya. Bukankah Tuhan selalu mengerti tentang hamba yang Ia ciptakan?

Namun duniaku terasa kosong seolah tiada satupun yang dapat menyentuhnya, bertanya dengan diri sendiri hanya menghasilkan ruang hampa tiada terkira, aku selalu bertanya apa aku akan jatuh cinta sehebat itu lagi? Namun bukan kepada manusia, melainkan kepadamu, Tuhan.

Aku memahami kita akan dipertemukan dengan orang-orang salah sebelum Tuhan mempertemukan kita dengan orang yang benar, Tuhan hanya ingin kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang kita buat, belajar tentang keikhlasan, belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi, akan tetapi aku tidak pernah menyadari sebab mungkin aku juga adalah kesalahan, atau mungkin selama ini aku tidak pernah manusawi.

Harus kuletakkan dimana hati, jika pada akhirnya orang yang aku cintai akan pergi dan mati? Aku tak bisa meletakkan hatiku pada-Mu, ia tidak pernah tumbuh, bahkan aku bingung bagaimana aku harus menumbuhkannya, kau berbicara melalui Al-Quran, kau berbicara melalui alam semesta dan aku kau ciptakan hati untuk membaca. Namun hati ini telah mengeras, perlahan-lahan, mungkin ia juga akan mengeluarkan-Mu dari tempatnya. Namun sungguh aku tak ingin, aku ingin engkau menetap, tidak dimanapun, tapi di hatiku.

Menyedihkan aku hanya dapat memeluk bayang-bayang, betapa menyedihkan selama ini aku selalu merasa sendiri kendati begitu banyak manusia baik yang engkau ciptakan di Bumi. Sebab mungkin hati ini lelah dengan ketentuan yang Kau ciptakan, ketentuan-ketentuan baik itu, aku lelah, Tuhan.

Dan aku kembali terlelap.

Kala itu jam tiga, aku terbangun kembali, kali ini berbeda, apakah aku merasa lebih baik? Aku tidak tahu, hal yang aku ketahui adalah aku masih hidup, paru-paruku memompa dan jantungku masih berdetak.

Aneh juga bagaimana aku bisa terbangun lagi, mungkin tubuhku tidak mau istirahat terlalu lama karena takut akan berkarat, atau mungkin hatiku perlu diisi oleh apapun atau siapapun, atau entahlah.

Mengingat hal ini ingatanku mengembara ke masa lalu saat aku kelas 4 SD, kala itu sore dan hangatnya mentari memeluk aku yang terbaring di berugak, mimpiku aku sedang bermain-main bersama Anggita Saputri, seorang perempuan manis yang begitu cantik bila rambutnya di pony. Dan tidak hanya itu, aku saat itu berada pada dua realitas, pada sebuah pelukan matahari yang hangat, dan realitas asli. Seekor lalat menempel di hidungku, tidak berhenti bergerak seolah ingin membangunkan aku dari mimpi itu.

Dan aku terbangun, aku tidak mengerti mengapa lalat itu tetap disana, seolah ingin memperingatkan aku akan sesuatu, belum sholat? Mungkin. Sampai aku bangun lalat itu tidak pergi, dan akhirnya aku bangun dan lalat itu lenyap bersama angin.

Aku menyerah, aku mengambil air wudhu, sholat Isya, sholat tahajud, lalu kemudian bercerita. Aku nggak lagi berdoa, aku hanya curhat, ingin Tuhan tahu apa yang kurasakan, lalu aku berdoa satu hal. Selepas itu aku hanya diam, tidak peduli apakah doaku atau apa yang kuceritakan tersampaikan atau tidak, tidak peduli lagi dengan banyak hal.

Aku suka bertanya, terkadang aku akan melepas imajiku seliar-liarnya menuju padang sabana yang penuh padang ilalang, terkadang aku melepasnya untuk terbang diantara cincin-cincin Uranus, terkadang aku hanya bertanya mengenai hal-hal yang tidak aku pahami, namun mungkin saat ini aku hanya bisa bertanya akan suatu hal:

Apa hari esok semuanya akan membaik?

Share:

Minggu, 22 Agustus 2021

Sajak Milad Hammasah

 

Milad Hammasah tinggal sebentar, aku tidur sampai sebuah telpon membangunkan aku, dan ternyata itu dari Yazid. Ia menyuruhku membuat kata-kata untuk Hammasah, sebuah sajak agar nanti kami tampilkan, dan Roid sebagai naratornya. Aku mengiyakan, dan aku tertidur kembali.

***

Sajak Milad Hammasah

Dua tahun telah berlalu semenjak kami berpisah, hangatnya kenangan yang kini mendingin, manisnya senyuman yang kini tidak lagi kudapatkan. Aku laksana planet pluto yang semakin jauh entah kemana, menjauhi matahari sejauh-jauhnya sampai lupa tujuanku apa.

Di tempat yang dingin ini, aku masih bisa mengingat bagaimana tawa kita membelah malam, bagaimana kita yang memperebutkan kursi dikelas, bahkan sampai bagaimana kita merayu bukde di dapur agar tidak menyantap lauk terong.

Aku juga mengingat bagaimana kita kucing-kucingan dengan ustadz, atau bagaimana kita saling mendelik dengan anak putri saat acara di pondok. Bukankah kenangan itu amerta? Abadi dalam lubuk hati sampai mencuat dalam alam mimpi?

Senyuman itu, kehangatan itu, sapaan itu, jauh dari kalian semua menjelma bias-bias kenangan sebab kita tidak lagi bersama. Namun bagaimana mungkin aku menyalahkan keadaan? Kita semua adalah secangkir kopi yang pernah hangat, namun kini dingin dalam pelukan senja.

Aku, kamu, kita…

Tapi kau tahu kawan? kini aku menyadari bahwa mungkin kita bukanlah hanya secangkir kopi yang menyambut pagi, kita mungkin adalah bintang di galaksi yang membara dan menghangatkan alam semesta.

Kita semua adalah mozaik Hammasah yang tersebar di penjuru galaksi, sebagian dari kita akan menempel pada bintang-bintang terjauh, atau pada bekunya samudera Pasifik. Namun percayalah kita akan kembali menjelma satu, menjadi kesatuan dan menciptakan Hammasah yang utuh.

Kita semua adalah serpihan Hammasah dengan makna dan cerita yang kita rangkai sendiri. Dan suatu saat nanti, percayalah akan ada masa aku dan kamu akan kembali bersama menembus pagi, kita akan kembali menjadi mozaik keindahan yang tiada duanya, namun sebelum itu aku dan kamu harus memiliki makna, membuat banyak cerita, mengetahui makna hidup, dan membuat keajaiban kita sendiri…

Kita adalah serpihan-serpihan Hammasah yang suatu saat nanti akan berkumpul kembali, dan sebab itu buatlah cerita yang indah dibawah panji marhalah ini, agar kita bisa bercerita sembari menyesapi kopi, menceritakan segala hal tentang hari ini….

Sampai suatu titik kita akan bertemu kembali, jadilah yang terbaik dari versimu sendiri…

Satu pesanku kawan, la golabata illal bi quwwah, wa la quwwata ilal bil jamaah, waanna yadallah maal jamaah.

La takhof

Wa La Tahzan

Innallah Maana.

***

Maghrib ini kami ngezoom menggunakan Google Meet, temanya adalah arti hidup, bagaimana kita bisa membangun makna untuk diri kita sendiri dan dunia. Seru juga ternyata bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan semenjak kami terpisah, aku bahagia.

Inti yang dikatakan ustad Anshor dan ustadzah Wajhah sama, namun penerangan dari ustad Anshor menurutku lebih mengena dengan joke-jokenya, dan penerangan ustadzah Wajhah tentunya lebih mengena ke anak putri. Aku terkadang senyum sendiri ketika ustadzah Wajhah bertanya kepada kami dengan kata ya dibelakangnya, dan itu berulang ulang.

Ustadzah Wajhah membagi arti hidup menjadi tiga, menyelamatkan orang lain, menyelamatkan diri sendiri, dan… aku lupa satu, hehe. Seingatku menyelamatkan dunia.

Sementara ustad Anshori menjelaskan kepada kami bahwa arti hidup adalah bagaimana kita berarti bagi orang lain, dan menjadi makna untuk orang itu sendiri. Maaf kalau salah, hehe.

Farid di akhir kemudian berkata bahwa kita telah lupa akan hakikatnya seorang pemuda, itulah mengapa mereka mendobrak pemuda untuk menjadi ada, seperti Muhammad Al Fatih yang waktu 21 tahun menaklukan konstantinopel.

Farid juga sedang menyiapkan pondok impian bersama Naufal dan lain-lainnya, tempat mereka mencetak pemuda yang mereka impikan dan inginkan. Masa depan ada ditangan kita, juga ditangan anak-anak yang kini masih belum tumbuh, dan mereka harus kita pupuk dan beri air, hingga sampai suatu titik mereka menjadi pemuda yang sebenar-benarnya.

 

Share:

Manusia Yang Kalah Dalam Perjudian


Ibu menyuruhku membawakan kak Nah nasi dan lauk pauk, mungkin sudah beberpa kali kuceritakan siapa kak Nah itu. Iya, dia adalah keluargaku yang gila karena gagal dalam bisnis MLM. Saat itu juga bertepatan dengan milad Hammasah, jadi aku sedang membuat video bersama Yazid.

Aku menyalakan motor dan segera meluncur, disana aku menemukan kak Nah sedang di borgol. Kakinya terikat oleh sebuah rantai yang memanjang sampai ia tidak bisa kekamar mandi. Alhasil, ia menggunakan plastik untuk menampung beraknya sendiri.

Sedih aku melihat semua itu, ia hanya bisa terduduk tanpa kemana-mana dengan rantai yang menjuntai seperti gajah-gajah di India. Aku terdiam begitu lama disaat kak Nah mulai berbicara, kadang lucu juga bagaimana bahasa Sasak dan Indonesia bercampur menjadi satu, namun aku tidak bisa lama, jadi ia kusalami lalu aku peluk.

Dan ia menangis.

“Jangan peluk kakak” ucapnya sambil tersedu “Kakak jadi menangis”

Dan saat itu aku merasakannya. Aku bisa membayangkan bagaimana kau dirantai pada sebuah kamar, tidak bisa kemana-mana, tidak bebas melakukan apa-apa. Aku bisa merasakan kesedihan itu bagaimana orang akan menganggapmu aneh dan terdriskriminasi dari sosial.

Kak Nah kemudian menyuruhku untuk membeli obat di Puskesmas Kopang, dan aku segera beranjak kesana sembari membawa tiga toples jajan yang dimiliki kak Nah. Sudah lama aku tidak ketempat ini sampai aku lupa tempatnya dimana. Aku bahkan sampai bertanya pada orang-orang disamping jalan.

Dan sesampainya disana aku segera memarkir motor, turun dan berjalan melihat-lihat rumah sakit. Aku membutuhkan ini, ucapku dalam hati. Sebab pada bangsal-bangsal itu aku bisa merasakan jiwa sastraku menggelora untuk menciptakan nuansa horor dalam ceritaku nanti. Aku bisa merasakan bagaimana pembacaku akan bergidik membaca ceritaku, membuat mereka tidak bisa tidur semalaman.

Aku tidak menemukan seorangpun kecuali beberapa, ketika aku berjalan-jalan melewati bangsal-bangsal itu tiada kutemukan orang-orang sakit, seingatku dulu berbeda, tapi aku tidak berpikir banyak hal sebab yang aku inginkan adalah menikmati momen-momen itu, bagaimana aku bisa membuat kengerian melalui ceritaku.

Tiba-tiba ada yang menyahut dan aku berbalik hadap. Seorang pria dengan masker bewarna hitam berdiri didepanku, pakaiannya hijau, ia kemudian menanyaiku mengapa sebab ini adalah hari minggu dan minggu berarti libur. Dan mungkin ia berpikir aku ingin mencuri.

Aku mengatakan kepadanya bahwa ada pasien di Montong Gamang yang membutuhkan pertolongan, ia terkena mencret sampai bab nya bahkan berbentuk ingus. Pria itu langsung mengerti dan membawaku ke sebuah kursi, ia menulis banyak hal, sesekali bertanya dan aku menjawabnya.

Awalnya ia tidak mengerti namun aku mengatakan Dokter Linda. Dokter Linda sendiri adalah dokter yang menangani kak Nah dan si pria itu mulai mengerti. Namun permasalahannya ini adalah hari minggu dan ia membutuhkan izin untuk memberikan obat. Untungnya ada seorang dokter yang berjalan dan segera ia datangi, dokter itu sepertinya liburan sebab ia tidak menggunakan seragam melainkan batik. Dan dokter itu mengizinkan.

“Penyakit itu parah” ucap pria itu “Itu namanya muntaber”

Aku tidak tahu muntaber itu apa, yang jelas muntah berak, akan tetapi data kematian dan seberapa parahnya aku tidak tahu. Dokter itu menjelaskan pemakaian obat yang boleh dikonsumsi saat pagi dan maghrib, satu obatnya lagi parah juga sebab harus dikonsumsi kapanpun kita ke kamar mandi.

Selepas kerumah sakit aku segera kerumah Kenzhie sembari memberikan kue kak Nah. Kak As langsung menyembunyikan kue itu karena Kenzhie tidak boleh memakan apapun yang mengandung telur. Dan selepas itu aku kembali ke Montong Gamang untuk memberikan obat dan mengembalikan uang kak Nah yang ia berikan.

Aku pulang, meninggalkan rumah tua itu dan melajukan motorku. Aku sempat melihat orang gila juga, namun orang ini menggunakan motor, ia menggunakan helm namun ditempeli bola diatasnya, karena sembari naik motor aku tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana ia berpenampilan, tapi seingatku ia membawa selang yang disampir di lengannya. Namun aku tidak peduli, aku kembali melanjutkan motorku.

Semakin aku melajukan motor, aku semakin mengerti bahwa dunia itu laksana perjudian, kita bertaruh setiap hari, berharap menemukan yang terbaik pada  hari ini, namun pada suatu titik, kita kalah dan terjatuh, jatuh sedalam-dalamnya sampai tidak ingin bangkit kembali, jatuh sedalam-dalamnya sampai tidak ada yang berani memeluk kecuali trauma.

***

Ketika aku telah memasukkan motor ke garasi malah ibuku menyuruh aku mengantar kelapa ke rumah kak As. Kak As memang membutuhkan kelapa untuk mengobati penyakitnya, dan sepertinya aku memang harus kesana.

Aku mengeluarkan motor kemudian beranjak pergi dari rumah, berbelok kiri pada pertigaan dan semakin melajukan motorku. Terkadang aku freestyle di jalanan dengan caraku sendiri, dan sesampainya disana aku langsung memberikan kelapa itu.

Anak-anak seperti biasa sedang bermain game, dan aku diabaikan, aku datang ke Kenzhie yang juga sedang bermain, namun aku berkata aku akan pulang, ia tidak mau, ditariknya tanganku agar aku ada disampingnya agar aku mau menontonnya bermain Dude Theft War. Namun aku berkata aku harus pulang.

Kak As menyuruhku membawa pisang, dan selain kak Desi ada juga nenek tua disana namun aku tidak tahu dia siapa. Ketika Kenzhie kusuruh masuk kekamar untuk mengambil handphone di Naufal, aku segera kabur namun diriku ditahu. Kenzhie menangis dan mengejar namun langkahnya tercekat oleh ibunya, ia meronta dan menangis keras, aku diam dan meminta ibunya untuk membiarkan aku membawanya.

“Pergi!” ucap kak As

Aku kemudian kembali menarik gas dan hanya suara Kenzhie yang terdengar. Aku sedih sekaligus bahagia. Aku sedih karena dia tidak bisa ikut denganku, namun aku juga bahagia bahwa ternyata masih ada orang yang menyayangiku, dan merasa bahwa aku tempatnya pulang.

Share:

Jumat, 20 Agustus 2021

Oh, Ternyata Bayi Diciptakan Untuk Itu…


Beberapa hari (17 Agustus 2021) yang lalu si Syafira membuka pintu kamar kemudian menyuruhku untuk menjaga adeknya, aku langsung berdiri dan berjalan menuju Hasbi yang sedang terbaring diatas kasur.

Hasbi masih menggeliat-liat ketika aku datang, matanya yang besar menatap langit-langit ruangan disaat kaki dan tangannya mencoba mencengkram sebuah bantal untuk dimasukkan kedalam mulutnya yang tak bergigi.

Aku menggodainya dan mencoba menggelitik sampai ia kemudian memegang jemariku dengan tangannya yang mungil, sesekali ia menatapku namun kemudian menoleh kembali kepada apa yang dikiranya menarik.

Aku tersenyum.

Pernahkah kau memegang seorang bayi mungil yang belum bicara?  Kulitnya yang lembut akan berpadu dengan kulitmu yang kasar, wajahnya yang imut dengan mata bulatnya akan sesekali menatap matamu. Tubuh mungilnya akan menggeliat-liat seolah ingin bergerak lebih banyak disertai suara ocehannya yang tidak kita tahu apa artinya.

Pernahkah kau merasakannya?

Jika pernah, kini aku merasakannya.

Ternyata tenang saat kita memiliki bayi, bagaimana makhluk kecil sepertinya sebenarnya telah mengajarkan kita suatu hal akan dunia ini. Sesekali cobalah lihat cara mereka menatap, begitu tulus tanpa ada sedikitpun beban, begitu nyaman seolah tidak ada hal lain yang bisa ia pikirkan.

Adanya bayi untuk setiap orang tentunya memiliki makna yang berbeda-beda, tapi hal yang aku percayai adalah adanya bayi membuat manusia untuk menjadi lebih baik dan bermakna. Adanya bayi membuat manusia mempunyai alasan untuk berjuang.

Ini tentu aneh bagaimana seorang bayi kecil mampu menggerakkan hati manusia yang dulunya malas menjadi seorang pekerja keras, manusia yang tidak berguna menjadi bermakna. Dan itu terjadi hanya karena seorang makhluk kecil yang lahir diantara kita.

Saya bahkan tidak pernah mengetahui bagaimana seorang bayi telah menjadikan umat manusia—setua apapun—untuk kembali menjadi seorang pemuda. Bayi menjadikan kita manusia yang kembali berjuang dan memiliki tujuan hidup, kendati dulu ketika kita masih muda hal tersebut terlupakan.

Hebat juga ternyata bagaimana suatu momentum lahirnya seseorang telah menjadikan kita seperti burung Phoenix yang terlahir kembali. Kita hidup begitu lama dan terombang ambing pada impian yang sudah kita pasrahkan.

Namun ketika ia datang, mimpi itu kembali lagi dan menjelma suatu penyesalan. Tentu hal itu juga adalah ajang untuk kembali mengejar mimpi itu kendati waktu telah lama berganti, namun apakah mimpi itu akan terkejar dengan sisa waktu yang ada itu kembali kepada manusia yang memiliki mimpi.

Lahirnya kita kembali mungkin adalah alasan agar kita memiliki cerita untuk diceritakan kepada anak kita nanti, dan membayangkan diri kita bukan siapa-siapa ketika kita telah memiliki bayi mungkin adalah hal yang menakutkan.

Anehnya juga adanya bayi telah menjadikan kita manusia yang begitu fokus dan terarah, bukankah sering kita menemukan banyak orangtua yang tertangkap polisi hanya karena ingin membuat anaknya bahagia?

Betapa lucunya mereka karena tidak bisa melihat resiko yang akan ditanggungnya, betapa malu keluarganya dan anak yang ia miliki jika itu terjadi. Dan anehnya lagi adalah betapa lucunya mereka fokus pada hal yang salah, bahkan terlalu yakin jika ia akan menang.

Seharusnya fokus ya ketika kita masih remaja, masih memiliki jiwa muda dan ambisius terhadap apa yang kita incar. Semestinya pada masa ini kita fokus, kita tidak mendengar omongan lain, kita tidak peduli dengan apa yang akan orang perlakukan kepada kita, kita hanya fokus melihat tujuan dan melupakan segenap masalah yang akan terjadi bahkan sampai tidak mengingat kegagalan kita nanti.

Namun apa? Mereka dewasa bukan pada tempatnya hingga mereka terjerumus dalam kefokusan yang konyol, lupa harga diri dan lupa rasa malu, ingin yang instan sampai lupa cara yang instan adalah cara tercepat untuk mendapatkan kehancuran.

Bayi ada untuk memberikan makna, namun mungkin banyak yang tidak tahu bagaimana menciptakan pemaknaan yang berarti sehingga hanya berkisaran pada permasalahan hidup dan bukan solusi untuk memecahkan masalahan hidup yang kita miliki.

Sebagai seorang anak, dan jika anda yang membaca ini adalah orangtua yang telah memiliki anak. Saya sebagai seorang anak tidak pernah menuntut anda untuk sekaya Deddy Corbuzier maupun sehebat Superman. Bagi saya anda adalah pahlawan itu sendiri, dan yang kami butuhkan hanyalah didikan dari kalian, lebih banyak perhatian, lebih banyak kasih sayang.

Ajari kami untuk mengetahui bahwa dunia hanyalah persinggahan dan bukan tentang uang semata, ajarkan kami tentang akhlak dan kejujuran adalah segalanya, ajarkan kami untuk menjadi manusia, ajarkan kami untuk menjadi apa yang seharusnya kami menjadi.

Mungkin nanti ketika kami mulai tumbuh kami akan dibanding-bandingkan dengan anak orang lain sampai kami tidak mempercayai potensi yang kami miliki dan bahkan sampai kami menguburkan impian kami pelan-pelan karena tidak sesuai dengan ekspektasi yang anda inginkan.

Jika suatu saat nanti anda menuntut kami terlalu tinggi, ketahuilah pada suatu titik kami pernah menjadi seorang bayi yang menatap dunia tanpa pernah tahu apa-apa, dan anda berada disamping kami untuk menceritakan tentang indahnya dunia, anda merawat kami begitu berharga seolah saya adalah alasan baru untuk anda berjuang untuk kedua kalinya.

Jika suatu saat nanti ekspektasi anda terhadap kami tidak pernah terpenuhi, ketahuilah bahwa kami akan selamanya menjadi anak anda sebab kami berasal dari dari darah anda, tulang ini berasal dari anda, kulit, mata, bahkan sampai sum-sum kami juga berasal dari anda.

Lalu ketika anda menghina kami bukankah sebenarnya anda sedang menghina diri anda sendiri karena gagal mendidik kami menjadi orang yang baik?

Pada suatu titik kami pernah menjadi bayi, menggeliat dengan bola mata kami yang indah, memasukkan apa yang bisa tangan mungil kami jangkau, mengoceh walau tidak pernah ada yang mengerti apa yang kami ucapkan, menatap anda dengan pandangan yang tulus tanpa pernah menginginkan anda menjadi siapapun.

Sebab yang kami inginkan, tolong jadilah ayah dan ibu kami, sebab dengan begitu engkau akan selamanya pahlawan dan tidak akan pernah mampu dibayar dengan segunung berlian.

Ah, indahnya andai aku bisa menjadi bayi kembali….

Share: