Kamis, 08 Mei 2025

Sebuah Catatan dari Seorang Beban Keluarga


Sebuah Catatan dari Seorang Beban Keluarga

Setel musik dulu nggak sih?


Kalau kamu membaca tulisan ini, berarti ulang tahunku sudah semakin dekat, dan aku akan melakukan hal yang sama seperti orang-orang pada umumnya; melakukan refleksi, merenung, mengurung diri dalam kamar dan ngomak-ngamuk sembari mempertanyakan satu hal; betapa tidak bergunanya aku dalam hidup ini.

Mei tahun 2024 adalah ulang tahun terburuk sebab disanalah ayahku meninggal tanpa sempat melihat toga di atas kepala, dan kepergiannya membuat aku merasa kosong. Aku merasa gagal. Aku jatuh dan molor untuk wisuda, aku tak merasa berarti dan merasa tahun-tahun perkuliahan adalah tahun-tahun yang sia-sia. Aku tak mengingat bahwa aku telah menjadi ketua HMJ, aku tak mengingat bahwa aku telah menjadi bagian kaderisasi di PMII, aku tak mengingat bahwa aku telah memiliki prestasi-prestasi, menulis ratusan lebih artikel saat menjadi mahasiswa, atau tak juga mengingat bagaimana orang-orang berterima kasih kepadaku. Semuanya terasa kosong dan nyaris tanpa makna. Momen itu aku menyadari bahwasanya aku tidak hanya kehilangan sesosok ayah, tetapi kehilangan sebagian makna hidupku.

Satu-satunya cara aku bertahan saat itu adalah dengan membaca buku; menggunakan 50% dari gaji untuk membeli buku-buku yang aku mau, duduk di atas kursi sepanjang hari dan terus membaca, menulusuri kalimat demi kalimat, menyusur kata, membelah paragraf. Bab demi bab yang kosong dengan hati yang belum terisi. Maka pada bulan ini aku telah bersiap-siap dengan segala hal yang buruk, misalnya saja kaki kejepit pintu atau tiba-tiba Dajjal datang sambil joget Samba. Barangkali, aku telah siap.

Aku percaya bahwa selama aku membaca buku dan belajar, berdiskusi, dan bertemu dengan orang-orang hebat maka aku akan terus bertumbuh. Namun, apakah itu benar-benar kemauanku? Apakah aku benar-benar berarti dan layak hidup? Aku mengingat Ace di anime One Piece yang dijebol Akainu, dan pada momen itulah ia memahami bahwa dirinya sangat berharga. Lalu pertanyaan kepada diriku sendiri; apakah aku akan tahu bahwa diriku berharga jikalau aku mati nanti, barangkali saat sebuah insiden atau masa-masa sekarat, melihat sekilas hidup yang aku jalani; apakah aku sudah cukup baik menjadi seorang hamba untuk bertemu dengan kekasihnya? Aku mempertanyakan itu.

Namun aku juga hidup di dunia yang realistis, sebuah dunia yang memandang manusia satu dengan manusia lainnya atas asas statistik dan angka. Di dunia ini, jika kita tidak memiliki uang, kita tidak akan dianggap. Perempuan dan wanita terkadang sangat kejam kepada lelaki miskin. Di dunia ini, IPK dan skor pelajaran seolah sangat berarti untuk menentukan bahwa orang itu berguna atau tidak, dan hal yang paling lucu; anak-anak juga dilihat sebagai bisnis, ia adalah saham berjalan untuk orangtua mereka, dan orangtua akan berinvestasi pada anaknya melalui susu saat bayi, biaya makan dan pendidikan, atau sejenisnya, dan sebab orangtua adalah donatur, dan sebab anak dianggap sebagai saham, maka ia memiliki hak untuk mempertanyakan hasil dari investasinya, sebuah profit maupun keuntungan, atau apalah namanya.

Maka inilah masalahnya. Tuhan tak pernah menurunkan kalkulatornya di Bumi sehingga kebaikan-kebaikan dan cinta tak dapat dikalkulasi. Menurutku itu adalah blunder yang dilakukan oleh Tuhan sebab orang-orang mempertanyakan makna mereka; seorang pengangguran yang membantu nenek menyebrang jalan, seorang pengais sampah wanita yang menahan diri agar tidak memakan sebungkus nasi yang ia miliki sebab ada anaknya yang menanti di rumah. Aku percaya bahwa aku dikelilingi oleh orang-orang baik, orang-orang baik yang terkadang juga mempertanyakan apakah kebaikannya sudah cukup untuk dianggap bermakna. Sebagaimana mereka, aku juga mempertanyakan hal yang sama.

Tahun ini aku setidaknya masih bisa berprestasi, masih bisa membantu kawan-kawanku meminang gelar-gelar di kampusnya, masih bisa melihat orang-orang yang sempat aku didik berprestasi, diundang jadi pemateri, dan masih bisa mempertahankan idealisme agar orang-orang mempercayai bahwasanya Tuhan belum mati dan tidak pernah tertidur. Namun seperti kataku tadi, apakah itu sudah cukup? Beberapa kebaikan tidak berbekas dalam bentuk angka, ia hanya kembali kepada Tuhan Yang Maha Mengingat, dan aku percaya bahwa Tuhan mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diberikan manusia kepada manusia, alam, dan sekitarnya.

Hanya saja tanpa angka-angka dan gelar, tanpa hasil yang bisa ditunjukkan, aku ingin tahu apakah kebaikan-kebaikan itu memiliki makna, sebab kebaikan tidak pernah menjadi statistika. Namun aku berharap, setitik air yang aku berikan kepada orang lain bisa membuat Tuhan tersenyum, dan tentu saja, bisa membuat ayahku bangga.

Tahun ini diiringi dengan percekcokan keluarga yang aku sudah bodo amat, dan usaha-usaha diriku untuk bisa menjadi lebih baik. Sebagaimana manusia lainnya, aku tetap berusaha walau banyak gagalnya, aku mencoba mendaftar beasiswa, masih mencoba mempertahankan diri untuk berbuat baik, masih menjadi pengangguran dengan ide bisnis yang akan kami jalankan bulan depan, masih berusaha menulis dan menjadi konten kreator, dan masih mencoba untuk mendengarkan cerita orang lain kendati aku akan melemparkan sedikit humor agar membuat dirinya tertawa.

Tahun ini aku membuat komunitas Laron, menjadi WAPIC di LBP, dan karyaku terpilih untuk diterbitkan sebagai buku. Tentunya;

Aku masih hidup sebagai manusia dengan gagal jatuhnya. Semoga yang baik berbiak, dan semoga keberkahan tercurahkan kepada kita selalu. Salam cinta dariku untuk diriku, salam cinta dari Tuhan untuk semesta alam.

 

Untuk Allah, Tuhan yang aku cintai dan aku sayangi; percayalah walau aku tidak akan pernah sesuci nabi Muhammad Saw. walau aku berlumur dosa dan seberapa besar pun aku berusaha menjadi baik, aku masih tidak merasa pantas menyebut diriku sebagai seorang kekasih, aku masih tidak merasa pantas bahkan untuk mendapatkan janji-janji surgamu, apalagi duduk di emperannya. Pun aku juga tidak merasa pantas untuk menerima kasih sayang yang selalu engkau berikan tanpa aku meminta, juga aku tidak pernah merasa pantas menerima semua yang engkau titipkan padaku. Suatu saat nanti jika engkau bertanya tangan, kaki, mata, pikiran ataupun mulut ini aku gunakan untuk apa semasa hidup, aku juga tidak tahu menjawab apa, sebab aku selalu merasa tidak pernah cukup untuk menebus satu mili kebaikanMu, bahkan menebus dosa jika ia dianggap sebagai hutang. Sebagai hambaMu, aku selalu berharap bisa membuatMu tertawa maupun bahagia, tetapi komediku barangkali tidak akan pernah lucu, sebab engkau Maha Tahu.

Ya Allah, untuk kakek, nenek, dan ayahku yang telah meninggal dunia. Padamu aku meminta agar mereka disayang dan dihapus dosa-dosanya, kemudian dimasukkan kedalam surga Firdaus. Intinya surga Firdaus, hambamu ini tidak mau surga yang lain.

Dan satu lagi, aku mau menitip pesan kepada ayah dan permintaan maaf; anakmu gagal menjadi mahasiswa terbaik, ia gagal mendapatkan IPK 4.0 sebagaimana yang ayah harapkan saat aku semester 3. Katakan kepadanya bahwa ia masih gagal banyak hal di dalam hidup, masih ceroboh dan tergopoh-gopoh, masih sering lupa, masih suka menonton anime dan lalai. Katakan kepadanya bahwa aku mencintainya, dan masih berusaha melampaui ayah dalam segala hal seperti prestasi, ketenaran, finansial, dan kebaikan. Katakan kepadanya bahwa aku selalu mencoba, namun aku masih banyak gagalnya.

Ini adalah Sebuah Catatan dari Seorang Beban Keluarga pada bulan Mei untuk menyambut ulang tahunnya yang ke-24. Semoga yang baik berbiak, semoga cinta dan kasih tercurah dari segala penjuru semesta. Oh, Tuhan, jadikanlah aku cahaya.

Terimakasih telah membaca.

Share:

0 comments:

Posting Komentar