Terkadang, Aku Berharap Diriku Tidak Pernah Dilahirkan
Aku mungkin hanya segumpal daging kegagalan yang berjalan tiada tentu arah, memandang dunia sialan ini sebagai kutukan yang membersamaiku sampai aku benar-benar terlepas. Aku tidak seperti kebanyakan orang yang memiliki mental yang kuat, dan aku menyadarinya. Terkadang mungkin aku mungkin akan seperti Arthur Fleck yang tertawa tanpa sebab, entah karena aku memiliki kelainan jiwa, atau mungkin tawa itu adalah bukti nyata bahwa selama ini aku merasa kesepian.
Pixabay |
Tulisan ini juga aku tulis dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, entah mengapa belakangan ini kepalaku terasa seperti gunung yang siap meledak, aku kerapkali tiba-tiba pusing, terkadang juga mual. Dugaan terburukku adalah aku terkena penyakit kangker, dugaan terbaik ia hanyalah pusing biasa dan bisa dibunuh hanya dengan sebutir Paracetamol.
Namun menatap dunia yang penuh keajabian ini melalui kacamata yang suram hanya membawaku pada rasa yang hampa, aku melihat gelapnya saja, memang begitu banyak kemilau yang mungkin saja diriku abaikan, akan tetapi, gelapnya lebih sering membersamaiku dan membawaku pada realita hidup yang aku pijaki.
Aku telah gagal berkali-kali, dan sekali lagi, aku gagal. Namun waktuku masih panjang, aku masih bisa mengurai-ngurai cerita, akan tetapi aku merasa muak, lumpur kegagalan itu tidak hanya menenggelamkan aku begitu dalam, namun melainkan telah masuk kedalam mulutku dan bersemayang didalam organ-organ tubuh.
Aku ingin menyerah, terkadang berdoa kepada Tuhan mengapa bukan diriku yang tidak berguna ini saja yang tercerabut nyawanya, mengapa harus orang lain? Dan terkadang mengapa harus orang yang kita cintai? Aku lelah Tuhan, aku lelah. Apa dosaku masih terlalu banyak sehingga engkau tidak mau menerimaku?
Hidupku juga dipenuhi banyak tuntutan, dan bukan hanya faktor eksternal, melainkan juga faktor internal. Faktor eksternalnya adalah aku harus menjadi ini dan itu, harus mendapatkan IPK segini dan segitu, harus empat, ya, harus empat, agar besok bisa kita pamerkan pada dunia sembari berteriak; Hey Dunia! Diatasmu pernah ada manusia yang memiliki IPK empat! IPK sempurna!
Dan aku juga menjadi lelah, mungkin karena terlalu menuntut diriku sendiri, mengatakan semangat kecil kepada diriku sendiri dan berkata, ayo, kamu pasti bisa! Namun ternyata aku tidak bisa. Bahkan mengerjakan tugas-tugas sesederhana itu saja aku tidak mampu, bodoh? Ya, aku sangat teramat bodoh, namun aku selalu mencoba dan mencoba kendati harus memeluk kegagalan berkali-kali.
“Setidaknya kita pernah mencoba” Aku mengatakan hal itu berkali-kali, entah mengatakan kepada tubuhku yang selalu aku paksakan, atau mengatakannya kepada jiwaku yang sudah teramat lelah.
Bahkan terkadang, aku berimajinasi bahwa diriku mati, entah terbunuh atau bunuh diri. Namun aku juga tidak tahu kenapa aku masih hidup, apa mungkin aku yang terlalu pengecut untuk mati? Atau apa mungkin itu karena ketidaktahuanku akan kematian itu sendiri? Begitu banyak bayangan, begitu banyak imaji yang nyatanya tidak pernah terealisasi.
Terkadang diriku juga bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi? Dan melalui perenungan yang aku lakukan, sebenarnya jawabannya sederhana, karena aku sudah tidak lagi bersyukur atas apa yang masih aku miliki, aku hidup dari ekspektasi-ekspektasi yang tidak pernah terpenuhi, hal yang pada akhirnya membuat diriku merasa gagal dan tidak pantas untuk hidup.
Padahal dibandingkan orang lain, aku bisa katakan kehidupan yang aku miliki sudah setengah sempurna. Aku memiliki mata yang indah, memiliki ide dan kreatifitas yang kerapkali dibanggakan teman-temanku, aku memiliki tubuh yang sehat, dan setidaknya memiliki latar pendidikan yang baik disaat jutaan orang lain diluar sana hanya bisa memandang manusia-manusia berseragam bagai malaikat yang patut dipuja.
Aku mungkin terlalu bodoh dan hanya melihat gelapnya saja, sebab begitu banyak rahmat yang selama ini aku lupakan dan tidak terjangkau oleh mataku, dan parahnya adalah, terkadang aku tidak peduli, aku egois, mengatakan kepada diriku sendiri bahwa apa yang semestinya aku miliki harus aku miliki. Padahal hal-hal itu berujung membuatku melayang pada dunia ekspektasi, dan terlalu banyak ekspektasi pada akhirnya membuat kita terjun bebas ke jurang depresi.
Dengan kegagalan yang menimpaku, kemalangan, ekspektasi yang tidak pernah terpenuhi kadang membuatku berkata bahwasanya aku tidak pernah pantas untuk dilahirkan. Aku kerapkali berharap demikian, padahal aku selalu mengingat bahwasanya aku dulu hanyalah satu dari sekian milyaran sperma yang memperjuangkan ovarium, dan pada saat itu, aku menang.
Benar, aku menang. Begitu banyak sperma yang mati karena kelelahan berenang dengan jarak yang teramat-amat jauh, namun lihatlah, dulu saat aku berbentuk sperma memenangkan pertempurannnya, yang berarti dalam hal ini, aku adalah seorang pemenang, namun keluar dari vagina seorang wanita, kenapa aku malah menjadi seorang pecundang?
Atau mungkin semua perenunganku benar adanya, bahwa sebenarnya kalah dan menang hanya sudut pandang manusia belaka. Atau mungkin sebenarnya kemenangan dan kekalahan itu hanyalah imaji yang otak kita ciptakan, sebab bagaimanapun, kemenangan dan kekalahan itu hanyalah sebuah relativitas. Dan dalam dunia relativitas, tidak pernah ada yang namanya menang, dan tidak pernah ada yang namanya kalah.
Tulisan ini aku tulis saat aku merasa kalah, melihat dunia dari sudut mata seorang lelaki yang pernah mencoba namun kembali terjatuh dan terluka. Mungkin aku akan mencoba lagi, berharap memiliki peruntungan untuk bisa menjadi seorang pemenang yang diriku ekspektasikan. Namun untuk saat ini, sebelum kesuksesan itu bisa kita gapai, mau tidak mau aku harus berenang di lumpur kegagalan terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya menemukan makna dari kesuksesan yang kita miliki.
Sebab bagaimanapun, apapun yang kita miliki akan berharga bila kita merasa memperjuangkannya, sampai suatu titik kita akan menarik napas panjang dan berkata…aku memang pantas mendapatkannya.
0 comments:
Posting Komentar