Kamis, 23 September 2021

Dari Hambamu Yang Capek


Aku berpikir bahwa Tuhan mungkin hanyalah kata, atau pelarian untuk menjawab hal yang tidak bisa diuntai manusia. Aku kadang skeptis akan kehidupan, kendati mengetahui ada begitu banyak orang baik di muka bumi ini, aku tetap skeptis.

Tadi malam aku memutuskan tidur tanpa sholat Isya terlebih dahulu, kubiarkan jiwa dan ragaku beristirahat dalam sunyinya malam dan membiarkan mereka yang menelponku hanya memeluk angin. Aku tidur begitu lelap sampai lupa bahwa aku sempat bermimpi, namun tidak berapa lama berlalu aku kembali terbangun dengan perasaan yang sama.

Aku terbangun pada jam satu malam, tepat jam satu. Ini tentu lucu kalau kita bawa ke ranah horor karena aku sempat menemukan cerita kalau ternyata ketika manusia terbangun tengah malam, maka sebenarnya ada makhluk dari dunia lain yang ingin berbincang dengan kita, jadi aku bisa membayangkan bahwa ketika itu sosok tersebut akan berdiri disamping kasur dan terus memandangiku dengan matanya yang merah darah.

Namun aku tidak mempercayai hantu, aku mempercayai jin, tapi untuk hantu, tidak. Namun mungkin karena hantu adalah sebutan untuk para jin usil yang mengganggu manusia, atau mungkin adalah jin yang memang jahat.

Jam satu tidak banyak yang bisa aku lakukan, malam begitu sunyi dan diluar begitu gelap, aku tidak menemukan apapun selain kesunyian yang merengkuh semesta, diluar sana bulir-bulir embun mungkin sedang berderap rapi menuju bumi, muncul satu persatu diantara daun-daun yang semakin menguning.

Dan aku belum sholat isya.

Sial memang, akan tetapi aku memilih untuk merebah dan menutup mata, kendati malam telah larut dan Tuhan selalu menunggu, namun mungkin aku merasa hamba yang tentu tidak dibutuhkan Tuhan, ada begitu banyak manusia yang bercerita malam ini, namun aku tidak bercerita, ada begitu banyak umat manusia berdosa yang membutuhkan Tuhan malam ini, tapi aku merasa tidak.

Sebenarnya begitu indah bila kita jatuh pada pelukan Tuhan, membiarkan Ia memeluk kita dengan Tangan tak kasatnya, atau mungkin kita berbaring diatas pangkuannya. Bukankah Tuhan selalu mengerti tentang hamba yang Ia ciptakan?

Namun duniaku terasa kosong seolah tiada satupun yang dapat menyentuhnya, bertanya dengan diri sendiri hanya menghasilkan ruang hampa tiada terkira, aku selalu bertanya apa aku akan jatuh cinta sehebat itu lagi? Namun bukan kepada manusia, melainkan kepadamu, Tuhan.

Aku memahami kita akan dipertemukan dengan orang-orang salah sebelum Tuhan mempertemukan kita dengan orang yang benar, Tuhan hanya ingin kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang kita buat, belajar tentang keikhlasan, belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi, akan tetapi aku tidak pernah menyadari sebab mungkin aku juga adalah kesalahan, atau mungkin selama ini aku tidak pernah manusawi.

Harus kuletakkan dimana hati, jika pada akhirnya orang yang aku cintai akan pergi dan mati? Aku tak bisa meletakkan hatiku pada-Mu, ia tidak pernah tumbuh, bahkan aku bingung bagaimana aku harus menumbuhkannya, kau berbicara melalui Al-Quran, kau berbicara melalui alam semesta dan aku kau ciptakan hati untuk membaca. Namun hati ini telah mengeras, perlahan-lahan, mungkin ia juga akan mengeluarkan-Mu dari tempatnya. Namun sungguh aku tak ingin, aku ingin engkau menetap, tidak dimanapun, tapi di hatiku.

Menyedihkan aku hanya dapat memeluk bayang-bayang, betapa menyedihkan selama ini aku selalu merasa sendiri kendati begitu banyak manusia baik yang engkau ciptakan di Bumi. Sebab mungkin hati ini lelah dengan ketentuan yang Kau ciptakan, ketentuan-ketentuan baik itu, aku lelah, Tuhan.

Dan aku kembali terlelap.

Kala itu jam tiga, aku terbangun kembali, kali ini berbeda, apakah aku merasa lebih baik? Aku tidak tahu, hal yang aku ketahui adalah aku masih hidup, paru-paruku memompa dan jantungku masih berdetak.

Aneh juga bagaimana aku bisa terbangun lagi, mungkin tubuhku tidak mau istirahat terlalu lama karena takut akan berkarat, atau mungkin hatiku perlu diisi oleh apapun atau siapapun, atau entahlah.

Mengingat hal ini ingatanku mengembara ke masa lalu saat aku kelas 4 SD, kala itu sore dan hangatnya mentari memeluk aku yang terbaring di berugak, mimpiku aku sedang bermain-main bersama Anggita Saputri, seorang perempuan manis yang begitu cantik bila rambutnya di pony. Dan tidak hanya itu, aku saat itu berada pada dua realitas, pada sebuah pelukan matahari yang hangat, dan realitas asli. Seekor lalat menempel di hidungku, tidak berhenti bergerak seolah ingin membangunkan aku dari mimpi itu.

Dan aku terbangun, aku tidak mengerti mengapa lalat itu tetap disana, seolah ingin memperingatkan aku akan sesuatu, belum sholat? Mungkin. Sampai aku bangun lalat itu tidak pergi, dan akhirnya aku bangun dan lalat itu lenyap bersama angin.

Aku menyerah, aku mengambil air wudhu, sholat Isya, sholat tahajud, lalu kemudian bercerita. Aku nggak lagi berdoa, aku hanya curhat, ingin Tuhan tahu apa yang kurasakan, lalu aku berdoa satu hal. Selepas itu aku hanya diam, tidak peduli apakah doaku atau apa yang kuceritakan tersampaikan atau tidak, tidak peduli lagi dengan banyak hal.

Aku suka bertanya, terkadang aku akan melepas imajiku seliar-liarnya menuju padang sabana yang penuh padang ilalang, terkadang aku melepasnya untuk terbang diantara cincin-cincin Uranus, terkadang aku hanya bertanya mengenai hal-hal yang tidak aku pahami, namun mungkin saat ini aku hanya bisa bertanya akan suatu hal:

Apa hari esok semuanya akan membaik?

Share: