Perlahan, semua terlihat memudar;
Impian, harapan, cita-cita, asa, semuanya. Aku malah terlihat seperti sebuah
kapal titanic besar nan angkuh, dan tepat didepanku ada sebuah bongkahan es
raksasa yang menunggu. Aku menabraknya, patah jadi dua, hancur berkeping-keping.
Aku jatuh dalam samudera yang gelap dan dingin bersama impian-impian yang aku
miliki.
Tidak tahu juga mengapa aku
mengawali tulisan ini dengan paragraf seperti itu, mungkin sebab proposal yang
aku tulis belum ada satupun batang hidungnya, mungkin karena kawan-kawanku
telah berlari jauh sementara aku tertinggal dibelakang, mungkin karena aku
berjalan terlalu pelan, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Namun aku berusaha, tentu, aku
berusaha. Aku berusaha tetap bernapas diantara gempuran segalanya, tentang
kehidupanku yang monokrom dan ampas, tentang perasaan yang membatu dan tidak
bisa aku miliki. Dalam urusan ini kawanku berkata untuk menunggu, namun aku telah
menunggu terlalu lama, setiap detik, jam, bulan, dan tahun. Aku bahkan tidak
lagi menghtung telah berapa banyak purnama. Aku terjatuh, rebah, terluka menatap
bintang. Aku terbakar pada rumput ilalang, aku usai, aku ingin segalanya usai,
aku berakhir, tertikam, digenjet oleh batu-batu. Aku pengen teriak, baiklah aku
akan teriak: AAAAAAAAAAAAAH!
Tapi kampretnya perasaan ini
tidak bisa keluar, ia mendekam terlalu dalam, sangat dalam sampai aku bahkan
bingung harus apa. Aku, aku mungkin butuh pertolongan, seseorang, seseorang,
tapi dalam kehidupan kita yang sibuk, saat manusia-manusia lainnya juga sibuk
dengan urusan mereka masing-masing, apakah meminta pertolongan adalah hal yang
tepat? Aku berusaha, namun semuanya nampak meninggalkan aku terbakar diatas
rumput ilalang. Seseorang, seseorang, seseorang mungkin semestinya membunuhku,
agar aku tidak lagi menghirup napas-napas harapan dan asa. Agar aku mati
semati-matinya.
Dalam keniscayaan dan keputusasaan
ini aku menulis. Dalam diamku, dalam senyumku yang bahkan tidak aku tahu palsu tidaknya.
Aku tertikam. Atau mungkin aku perlu menaburkan bensin disekujur tubuhku agar
sekali lagi aku usai diatas rumput ilalang ini.
Orang-orang telah seperti kereta
api yang berjalan jauh dengan suara bising-bising mereka, dan aku masih berdiam
diri, menatap mereka menjauh. Aku melihat mereka seperti perahu mungil dengan
layar-layar terkembang bahagia, melintasi laut dan samudera, singgah pada benua
satu ke benua lainnya. Sementara aku disini, menjadi kapal Titanic yang karam
ditengah jalan. Patah jadi dua, masuk kedalam samudera.
Dalam diamku, aku hanya berpikir
bagaimana semua bergerak begitu cepat, meninggalkan kita di masa lalu. Kita semua
melumut menunggu masa-masa itu, sesuatu yang kita kejar tapi menjauh. sesuatu
yang pada akhirnya usang, dan noda-noda hitam pada baju, debu-debu yang ada
pada wajah. Semuanya…semuanya…mengapa begitu jauh?
Tapi mungkin benar. Beberapa orang
di dunia ini diciptakan untuk sendirian dan bergulat dengan rasa sepi. Beberapa
manusia di dunia ini akan selamanya berada pada lingkarannya sendiri dan tidak
dapat keluar dari lingkaran itu. Selamanya mereka akan disana, berdiri sampai
akhir waktu, kemudian perlahan usang dan mati. Perlahan, terbunuh. Beberapa
orang itu akan tetap ada disana, dalam kesendirian dan kesunyian, dalam kesepian
yang akan selamanya merangkak. Mereka akan hidup dalam dunia yang monokrom,
tempat dimana semuanya abu-abu, tanpa warna. Mereka akan habis masa, terbunuh
sebab tertikam, atau mungkin yang paling menyedihkan, terbunuh sampai habis
usia.
Mereka tidak memiliki kawan,
tidak memiliki lawan, hanya ada dirinya dan waktu.
Dan sayangnya, orang itu jugalah
aku.
Maka ajarkanlah aku tentang
warna-warna, tentang keramaian, tentang segala yang membuat apiku menyala
kembali. Dan padang ilalang terbakar yang kita lewati, menyisakan abu untuk
bunga-bunga baru bertumbuh. Tempat kita tertawa dan menari, tempat hanya aku
dan kamu.
Disini.