Rabu, 06 Desember 2023

Aku Usai Titi, AKU USAAAAAAAAI

 

Perlahan, semua terlihat memudar; Impian, harapan, cita-cita, asa, semuanya. Aku malah terlihat seperti sebuah kapal titanic besar nan angkuh, dan tepat didepanku ada sebuah bongkahan es raksasa yang menunggu. Aku menabraknya, patah jadi dua, hancur berkeping-keping. Aku jatuh dalam samudera yang gelap dan dingin bersama impian-impian yang aku miliki.

Tidak tahu juga mengapa aku mengawali tulisan ini dengan paragraf seperti itu, mungkin sebab proposal yang aku tulis belum ada satupun batang hidungnya, mungkin karena kawan-kawanku telah berlari jauh sementara aku tertinggal dibelakang, mungkin karena aku berjalan terlalu pelan, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Namun aku berusaha, tentu, aku berusaha. Aku berusaha tetap bernapas diantara gempuran segalanya, tentang kehidupanku yang monokrom dan ampas, tentang perasaan yang membatu dan tidak bisa aku miliki. Dalam urusan ini kawanku berkata untuk menunggu, namun aku telah menunggu terlalu lama, setiap detik, jam, bulan, dan tahun. Aku bahkan tidak lagi menghtung telah berapa banyak purnama. Aku terjatuh, rebah, terluka menatap bintang. Aku terbakar pada rumput ilalang, aku usai, aku ingin segalanya usai, aku berakhir, tertikam, digenjet oleh batu-batu. Aku pengen teriak, baiklah aku akan teriak: AAAAAAAAAAAAAH!

Tapi kampretnya perasaan ini tidak bisa keluar, ia mendekam terlalu dalam, sangat dalam sampai aku bahkan bingung harus apa. Aku, aku mungkin butuh pertolongan, seseorang, seseorang, tapi dalam kehidupan kita yang sibuk, saat manusia-manusia lainnya juga sibuk dengan urusan mereka masing-masing, apakah meminta pertolongan adalah hal yang tepat? Aku berusaha, namun semuanya nampak meninggalkan aku terbakar diatas rumput ilalang. Seseorang, seseorang, seseorang mungkin semestinya membunuhku, agar aku tidak lagi menghirup napas-napas harapan dan asa. Agar aku mati semati-matinya.

Dalam keniscayaan dan keputusasaan ini aku menulis. Dalam diamku, dalam senyumku yang bahkan tidak aku tahu palsu tidaknya. Aku tertikam. Atau mungkin aku perlu menaburkan bensin disekujur tubuhku agar sekali lagi aku usai diatas rumput ilalang ini.

Orang-orang telah seperti kereta api yang berjalan jauh dengan suara bising-bising mereka, dan aku masih berdiam diri, menatap mereka menjauh. Aku melihat mereka seperti perahu mungil dengan layar-layar terkembang bahagia, melintasi laut dan samudera, singgah pada benua satu ke benua lainnya. Sementara aku disini, menjadi kapal Titanic yang karam ditengah jalan. Patah jadi dua, masuk kedalam samudera.

Dalam diamku, aku hanya berpikir bagaimana semua bergerak begitu cepat, meninggalkan kita di masa lalu. Kita semua melumut menunggu masa-masa itu, sesuatu yang kita kejar tapi menjauh. sesuatu yang pada akhirnya usang, dan noda-noda hitam pada baju, debu-debu yang ada pada wajah. Semuanya…semuanya…mengapa begitu jauh?

Tapi mungkin benar. Beberapa orang di dunia ini diciptakan untuk sendirian dan bergulat dengan rasa sepi. Beberapa manusia di dunia ini akan selamanya berada pada lingkarannya sendiri dan tidak dapat keluar dari lingkaran itu. Selamanya mereka akan disana, berdiri sampai akhir waktu, kemudian perlahan usang dan mati. Perlahan, terbunuh. Beberapa orang itu akan tetap ada disana, dalam kesendirian dan kesunyian, dalam kesepian yang akan selamanya merangkak. Mereka akan hidup dalam dunia yang monokrom, tempat dimana semuanya abu-abu, tanpa warna. Mereka akan habis masa, terbunuh sebab tertikam, atau mungkin yang paling menyedihkan, terbunuh sampai habis usia.

Mereka tidak memiliki kawan, tidak memiliki lawan, hanya ada dirinya dan waktu.

Dan sayangnya, orang itu jugalah aku.

Maka ajarkanlah aku tentang warna-warna, tentang keramaian, tentang segala yang membuat apiku menyala kembali. Dan padang ilalang terbakar yang kita lewati, menyisakan abu untuk bunga-bunga baru bertumbuh. Tempat kita tertawa dan menari, tempat hanya aku dan kamu.

Disini.

Share:

0 comments:

Posting Komentar