Sabtu, 11 Juni 2022

Zulaikha Dan Perjuangan Untuk Ikhlas

Beberapa hari kemarin kami sebagai kelompok yang ingin menyelesaikan UAS Akidah Akhlak kumpul didalam perpus, kami ingin membuat buku mengenai pembelajaran Akidah Akhlak karena menurut kami, membuat buku 14 halaman itu sangat mudah.

Akhirnya kami kumpul disana dan seperti biasa, kekuatanku tidak muncul kala itu sehingga aku memutuskan untuk menjadi seorang mata-mata pada mata pelajaran Evaluasi Pembelajaran. Aku memang lebih aktif dimalam hari, saking aktifnya, Batman sampai insecure.

Mata-mata yang kulakukan berhasil membuatku paham mengenai metode yang digunakan Bu Mulaybiyyah kala itu, kami dibagi menjadi ganjil dan genap dengan soal yang berbeda-beda. Soal yang akan muncul untuk genap merupakan realiabilitas, validitas, dan kesukaran soal. Untuk ganjil, sama saja, cuma beda soal.

Aku kemudian mewawancarai Irwan, anak kelas C yang lebih dahulu keluar karena pusing melihat soalnya. Dari wawancara yang aku lakukan, semakin terkuaklah ternyata soal itu merupakan soal yang memang harus bisa aku kalahkan, dan mau nggak mau, aku harus siap.

H-1 sebelum tugas evaluasi pembelajaran, namun aku tidaklah takut. Karena kendati aku akan berhadapan dengan angka, aku menyadari memang ada beberapa hal di dunia ini yang akan berlalu. Aku sadar bahwa baik dan buruk yang menimpa umat manusia hanyalah perkara waktu. Entah itu patah, atau patah kaki.

Itulah mengapa, sebagai manusia kita memang diperintahkan untuk tawakkal, pasrah, dan tentunya, kita diperintahkan untuk ikhlas.

Namun ketika aku kembali ke perpus dan mendengar cerita Zulaikha, aku bingung, apakah manusia memang ditakdirkan untuk ikhlas?

Zulaikha Dan Perjuangan Untuk Ikhlas

Pada tahun 2020, kendati samar-samar aku mendengar kabar bahwasanya ayah Zulaikha meninggal dunia. Namun itu hanya sekedar berita belaka dibandingkan cerita asli yang Zulaikha paparkan kepada kami saat ini.

“Kau tahu? Ketika ayahku sakit kala itu, aku menyangkal bahwa dirinya sakit. Aku marah pada siapapun orang yang berani mengatakan kalau bapakku sakit. Bapakku memang menderita kangker, tapi aku selalu percaya bahwa dia akan sembuh, aku selalu berdoa agar ia segera sembuh….”

“…aku akan mengunci kamar bapakku dirumah sakit hanya agar aku berdua bersama ayahku. Aku tidak akan membiarkan seorangpun menginterupsi, aku tidak mau ayahku meninggal, aku ingin terus disampingnya. Bahkan, aku akan menghitung detik demi detik detak jantung yang keluar dari dadanya, juga memperhatikan bagaimana matanya. Ketika ayahku tertidur untuk beristirahat, aku akan membangunkannya untuk memastikan bahwa dirinya masih hidup…”

“...Aku memang dimarahi, Zis. Tapi aku nggak mau kehilangan beliau, aku ingin selalu ada disampingnya. Dan entah mengapa, aku juga melakukannya tanpa sadar, aku nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, aku nggak mau dia pergi, dan bahkan ketika beliau meninggal, aku menyangkal bahwasanya dia telah meninggal…”

“…bisa kamu bayangin Zis? Ketika orang semua pada nangis, aku akan marahi orang-orang itu dan menyangkal kematian bapakku, Aku akan memarahi mereka karena menangis dan meneriaki mereka ‘bapakku masih hidup! Lihat, dia masih bernafas! Bapakku nggak meninggal kan? Jangan nangis! Beliau masih hidup!’ aku selalu bilang gitu kepada orang-orang disana, dan aku nggak tahu, aku ngelakuinnya tanpa sadar, aku gila ya? Bahkan sampai sekarang, aku masih percaya bahwa bapakku nggak pernah meninggal…”

“…Tapi kemudian, aku terus didatangi lewat mimpi, bapakku akan datang padaku dan mengatakan ‘ikhlas ya nak…’ bapakku terus mengatakan hal itu, dan itu tidak sekali melainkan berkali-kali. Tapi aku selalu sangkal hal itu, aku selalu percaya bahwa bapakku masih hidup, menurutmu Zis, gimana?”

Kami semua diam, pembicaraan ini memang terjadi gara-gara kami menyinggung Selagalas sebagai titik rumah orang gila di Lombok, dan pembicaraan kami melebar ke sampai mana yang dikatakan gila dan mana yang bukan dikatakan gila. Namun aku tidak tahu bahwa pembicaraan kami akan sampai kepada bagaimana masa lalu Zulaikha bisa diceritakan disini.

Aku menarik napas dan berharap ucapanku bisa membuat suasana membaik.

“aku memang gak tahu, tapi yang pernah aku baca, dalam ilmu psikologi ada beberapa tahapan manusia dalam menerima kenyataan, yaitu denying atau menyangkal, frustrate atau frustasi, anger atau marah, dan berdamai dengan diri sendiri atau acceptance. Aku memang bukan ahli, tapi mungkin kamu memang masih tahap denying, dan memang dalam persoalan ini kita nggak bisa sat set set, butuh waktu yang lama agar kita bisa berdamai dengan diri kita sendiri, dan kita nggak tahu itu kapan. Dan mengenai masalah kamu gila atau nggak, aku nggak tahu, menurutmu Van?”

“Yaa gak tahu juga, tapi mungkin itu juga wajar soalnya kamu sayang sama bapakmu. Coba aja lihat cerita Layla dan Majnun, itu sampai gila si Majnun gara-gara Layla. Jadi mungkin itu karena kamu terlalu sayang sama bapakmu Fa”

“Saya setuju dengan pendapatnya Evan” ucapku “Karena bagaimanapun kita nggak bisa sebut orang gila dan enggak karena itu hanya persepsi. Kita anggak diri kita waras karena kita dan orang lain percaya kalau kita waras, dan begitupula sebaliknya. Coba aja lihat orang gila, bahkan ada juga yang sampai sholat, sholawatan, kita nggak pernah tahu apakah mereka memang gila atau memang udah sampai tingkatan tasawuf. Kita nggak pernah tahu”

“Btw yang sholat tapi gila itu, keterima gak sholatnya?” tanya Zulaikha

“Ya mana tahu, dalam Islam syarat beragama kan berakal” jawab Evan.

“Bener tuh yang dikatakan Evan, Tapi balik lagi, emang kamu yakin mereka gila? Atau selama ini, kita yang sebenarnya gila?”

Kami semua diam, Wahab, Dewi, sedari tadi juga diam. Mereka asik DDN, Diam-Diam Nyimak.

“Tapi kau tahu? Aku iri sama kamu Zul” ucapku

“Kenapa?”

“Karena bapakmu masih peduli sama kamu, padahal beliau sudah meninggal. Setiap ayah di muka Bumi ini pasti ingin anaknya hidup tenang dan bahagia, apalagi kalau anaknya perempuan. Dan bapak kamu udah buktiin itu. Tapi dilain sisi, aku juga bingung apakah kamu memang harus ikhlas atau nggak, bagaimanapun karena kamu sayang sama bapakmu dan karena kamu nggak ikhlas, bapak kamu jadi tetap datang dalam mimpimu, dan kamu bisa lepas rindu disana. Lagipula, siapa sih orang yang nggak pengen ketemu sama orang yang mereka sayang? Tapi balik lagi Zulaikha, bapak kamu mungkin nggak bisa tenang di alam sana gara-gara kamu nggak ikhlas, ia juga berhak tenang dan bahagia di alam sana. Jadi untuk urusan ini, ikhlas enggaknya, aku akan serahkan semuanya pada kamu. Berdamai dengan diri sendiri memang nggak bisa langsung, jadi ini semua tergantung kamu”

Jam demi jam berganti, dan perpusatakaan kian sepi. Kami segera keluar dari perpustakaan dan kemudian memutuskan untuk pulang. Dalam tugas UAS Akidah Akhlak ini, tinggal aku yang belum jadi, lagipula yang susun kan aku sama Evan, jadi bolehlah aku santuy.

Tapi kadang ketika aku dengar cerita ini, aku jadi merinding. Soalnya aku bisa membayangkan Zulaikha waktu itu yang memarahi setiap orang dan menyangkal bahwa ayahnya telah meninggal. Aku bisa membayangkan bagaimana dirinya akan berdoa sepenuh hati agar ayahnya bisa sembuh dari penyakit kangker yang menggerogoti tubuh tersebut kian detik.

Aku bisa merasakannya.

Dinding rumah sakit lebih sering mendengar doa-doa orang tulus dan pencinta dibandingkan rumah ibadahpun di muka Bumi ini. Namun sayang tulusnya doa terkadang memang akan kalah oleh takdir yang telah ditetapkan Tuhan.

Manusia diperintahkan untuk ikhlas dan tawakkal, namun mempelajari dua hal tersebut tentu akan sulit karena akan berkaitan dengan keimanan umat manusia.

Dan terakhir, jikalau kamu berdoa dengan tulus dan doa kamu tidak diterima oleh Tuhan.

Bersabar yaa…

Yang berdoa dengan tulus bukan hanya kamu.



Dokumentasi Semester IV, Evaluasi Pembelajaran

Dokumentasi di Semester V, Desain Pembelajaran


Share:

0 comments:

Posting Komentar