Minggu, 10 September 2023

Mogre VS Motor-Motor Kampret

 

Sehabis RTAR dan menyelesaikan tugas di kosnya Amoepa, aku kem udian memaksakan diriku untuk berangkat menuju Kopang sebab sebagian besar pakaianku masih berada disana. Malam datang dan pikiran akan kegagalan yang mendatangiku membuat aku kesal, aku semakin kesal sebab ada sebuah motor kampret dengan knalpot bersuara jelek dengan asap abu-abu yang membuat diriku terbatuk.

Motor kampret! Aku sesekali mengumpat dan bahkan berimajinasi untuk menendangnya sehingga ia akan terbunuh diatas jalan. Pikiranku terbagi menjadi dua dimana pikiran negatif memintaku untuk menyelesaikannya, sementara pikiran positifku menyuruhku untuk mendoakannya.

Namun pada akhirnya aku memilih untuk berpikir positif walau kurasa lebih seru untuk baku hantam di jalanan, lagipula hari begitu buruk belakangan ini, satu atau dua orang mati diatas jalanan tentu tidak jadi masalah dan masih bisa untuk tidak dipedulikan.

Malam semakin panjang dan beberapa perhentian akibat lampu merah membuat waktu juga semakin terhambat. Aku hampir tabrakan sebab seorang bapak tiba-tiba me-letting dan kemudian berbelok; membuat aku segera menurunkan gigi dan berbelok kearah kiri.

Aku telah kenyang oleh asap, dan para kampret-kampret itu jelas tidak pernah mempedulikan siapapun di jalanan dan hanya mempedulikan dirinya sendiri. Pada lampu merah, dua motor kampret itu berhenti dan bersiap untuk balap; mereka saling lihat dan aku segera mengisi tempat kosong diantara mereka; kini aku sejajar.

Tidak ada aturan memang, namun Mogre yang aku tunggangi juga meraung. Aku kerap mendengarkan bagaimana kawan-kawanku yang pembalap liar dan ilegal kala malam, bagaimana mereka berjudi diatas sebuah motor dan orang yang menungganginya. Dan kini pun begitu. Aku seolah berjudi dengan kehidupanku yang malang, sedih, dan penuh kegagalan. Aku berjudi terhadap segala hal-hal yang akan aku tinggalkan dibelakang, aku akan menaruhnya, membuangnya, menguburnya. Aku tidak peduli apa aku akan mati malam ini, aku hanya peduli pada jalanan dengan segala harapan yang ia tinggalkan.

Maka ketika lampu merah menjadi kuning, kita semua ngebut dan balap. Sayangnya Mogre kalah start karena aku belum siapkan gigi 1, hasilnya aku ketinggalan dan motor-motor kampret itu lebih dahulu menerjang.

Namun Mogre adalah iblis merah. Dengan cepat aku menaikkan gigi dan mengejar, namun mereka teramat cepat dan bisa berkelak-kelok laksana ular. Namun Mogre adalah Mogre, segera ia berkelok juga dan membawaku pada kemungkinan-kemungkinan yang ada di hari ini. Mati atau hidup adalah urusan nomor dua, mengalahkan mereka adalah urusanku yang nomor satu.

Aku pada akhirnya bisa menyalip mereka ketika mereka ragu untuk melewati sebuah truk besar sementara aku segera mengambil posisi paling kanan dan kemudian tancap gas dan meninggalkannya dibelakang. Aku melaju dan melaju menuju peradaban yang aku inginkan, meninggalkan segala kenangan dengan segala hal yang memuakkan.

Aku menjauh dari mereka sampai tidak dapat lagi aku dengar suara busuk dari motor mereka. Aku ngebut semakin jauh dan melewati mobil-mobil cepat truk-truk yang dapat melindasku. Aku melewati motor-motor dengan lampunya yang bercahaya laksana kunang-kunang; aku meninggalkan semuanya, membiarkan mereka menjadi bagian dari masa lalu agar aku dapat menikmati masa ini.

Rasanya menenangkan.

Impianku yang besar menginjak-injakku seolah aku adalah seorang pecundang. Ia mengangkangiku dan kemudian menjatuhkan aku kedalam keputusasaaan. Aku mati dalam harapan dan impian yang akau ciptakan sendiri, aku terbunuh dalam kegelapan dan dimakan oleh kenyataan yang tidak pernah bisa aku realisasikan.

Aku marah.

Dalam balapan kali ini aku melepaskan semuanya dan tidak lagi peduli apakah hidup dan mati. Aku hanya ingin menang, namun kemenangan tidak pernah benar-benar bisa aku genggam, sebab kenyataannya, aku adalah kegagalan.

Maka pada malam yang pekat ini aku melibas semuanya, cukup Tuhan yang bisa menghentikan aku, dan jika ia memang mau membunuhku, maka biarkan. Aku pasrah. Namun aku tetap hidup, bahkan sampai perhentian di Mantang, aku masih bisa hidup dan sampai lebih dulu daripada yang lain.

Aku melewati motor dan mobil-mobil mewah, meninggalkan mereka dibelakangku menjadi kenangan. Bahkan ketika aku berhenti di lampu merah, sebuah motor N-Max datang dan parkir disampingku, kuanggap ia juara kedua. Sementara kemudian datanglah seorang perempuan yang nampaknya sedang melakukan pindahan, kurasa ia tidak ikut lomba, apalagi ia membawa magikom. Tapi kusebut ia juara ketiga.

Ketika aku melihat dengan seksama kepada N-Max si juara kedua, ternyata pemiliknya menggantungkan hape pada dashbor motor dan sebuah video dangdut perempuan berjoget disana. Hal itu membuatku terkaget karena keunikannya.

Ternyata, hidup tidak hanya gelap dan diisi jutaan keputusasaan, melainkan diisi keindahan dan kekonyolan yang tolol. Kita mungkin sedikit lebih memandang dengan baik, dan mulai memperhatikan bagian-bagian terkecilnya.

Share:

0 comments:

Posting Komentar