Beberapa hari kemarin kami sebagai
kelompok yang ingin menyelesaikan UAS Akidah Akhlak kumpul didalam perpus, kami
ingin membuat buku mengenai pembelajaran Akidah Akhlak karena menurut kami,
membuat buku 14 halaman itu sangat mudah.
Akhirnya kami kumpul disana dan
seperti biasa, kekuatanku tidak muncul kala itu sehingga aku memutuskan untuk
menjadi seorang mata-mata pada mata pelajaran Evaluasi Pembelajaran. Aku memang
lebih aktif dimalam hari, saking aktifnya, Batman sampai insecure.
Mata-mata yang kulakukan berhasil
membuatku paham mengenai metode yang digunakan Bu Mulaybiyyah kala itu, kami dibagi
menjadi ganjil dan genap dengan soal yang berbeda-beda. Soal yang akan muncul untuk
genap merupakan realiabilitas, validitas, dan kesukaran soal. Untuk ganjil,
sama saja, cuma beda soal.
Aku kemudian mewawancarai Irwan,
anak kelas C yang lebih dahulu keluar karena pusing melihat soalnya. Dari wawancara
yang aku lakukan, semakin terkuaklah ternyata soal itu merupakan soal yang
memang harus bisa aku kalahkan, dan mau nggak mau, aku harus siap.
H-1 sebelum tugas evaluasi pembelajaran,
namun aku tidaklah takut. Karena kendati aku akan berhadapan dengan angka, aku
menyadari memang ada beberapa hal di dunia ini yang akan berlalu. Aku sadar
bahwa baik dan buruk yang menimpa umat manusia hanyalah perkara waktu. Entah itu
patah, atau patah kaki.
Itulah mengapa, sebagai manusia
kita memang diperintahkan untuk tawakkal, pasrah, dan tentunya, kita
diperintahkan untuk ikhlas.
Namun ketika aku kembali ke perpus
dan mendengar cerita Zulaikha, aku bingung, apakah manusia memang ditakdirkan
untuk ikhlas?
Zulaikha Dan Perjuangan Untuk
Ikhlas
Pada tahun 2020, kendati
samar-samar aku mendengar kabar bahwasanya ayah Zulaikha meninggal dunia. Namun
itu hanya sekedar berita belaka dibandingkan cerita asli yang Zulaikha paparkan
kepada kami saat ini.
“Kau tahu? Ketika ayahku sakit
kala itu, aku menyangkal bahwa dirinya sakit. Aku marah pada siapapun orang
yang berani mengatakan kalau bapakku sakit. Bapakku memang menderita kangker,
tapi aku selalu percaya bahwa dia akan sembuh, aku selalu berdoa agar ia segera
sembuh….”
“…aku akan mengunci kamar bapakku
dirumah sakit hanya agar aku berdua bersama ayahku. Aku tidak akan membiarkan
seorangpun menginterupsi, aku tidak mau ayahku meninggal, aku ingin terus disampingnya.
Bahkan, aku akan menghitung detik demi detik detak jantung yang keluar dari dadanya,
juga memperhatikan bagaimana matanya. Ketika ayahku tertidur untuk
beristirahat, aku akan membangunkannya untuk memastikan bahwa dirinya masih
hidup…”
“...Aku memang dimarahi, Zis. Tapi
aku nggak mau kehilangan beliau, aku ingin selalu ada disampingnya. Dan entah
mengapa, aku juga melakukannya tanpa sadar, aku nggak tahu apa yang terjadi
sebenarnya, aku nggak mau dia pergi, dan bahkan ketika beliau meninggal, aku
menyangkal bahwasanya dia telah meninggal…”
“…bisa kamu bayangin Zis? Ketika orang
semua pada nangis, aku akan marahi orang-orang itu dan menyangkal kematian
bapakku, Aku akan memarahi mereka karena menangis dan meneriaki mereka ‘bapakku
masih hidup! Lihat, dia masih bernafas! Bapakku nggak meninggal kan? Jangan nangis!
Beliau masih hidup!’ aku selalu bilang gitu kepada orang-orang disana, dan aku
nggak tahu, aku ngelakuinnya tanpa sadar, aku gila ya? Bahkan sampai sekarang,
aku masih percaya bahwa bapakku nggak pernah meninggal…”
“…Tapi kemudian, aku terus
didatangi lewat mimpi, bapakku akan datang padaku dan mengatakan ‘ikhlas ya nak…’
bapakku terus mengatakan hal itu, dan itu tidak sekali melainkan berkali-kali. Tapi
aku selalu sangkal hal itu, aku selalu percaya bahwa bapakku masih hidup,
menurutmu Zis, gimana?”
Kami semua diam, pembicaraan ini
memang terjadi gara-gara kami menyinggung Selagalas sebagai titik rumah orang gila
di Lombok, dan pembicaraan kami melebar ke sampai mana yang dikatakan gila dan
mana yang bukan dikatakan gila. Namun aku tidak tahu bahwa pembicaraan kami
akan sampai kepada bagaimana masa lalu Zulaikha bisa diceritakan disini.
Aku menarik napas dan berharap ucapanku
bisa membuat suasana membaik.
“aku memang gak tahu, tapi yang
pernah aku baca, dalam ilmu psikologi ada beberapa tahapan manusia dalam
menerima kenyataan, yaitu denying atau menyangkal, frustrate atau frustasi,
anger atau marah, dan berdamai dengan diri sendiri atau acceptance. Aku memang
bukan ahli, tapi mungkin kamu memang masih tahap denying, dan memang dalam persoalan
ini kita nggak bisa sat set set, butuh waktu yang lama agar kita bisa berdamai
dengan diri kita sendiri, dan kita nggak tahu itu kapan. Dan mengenai masalah
kamu gila atau nggak, aku nggak tahu, menurutmu Van?”
“Yaa gak tahu juga, tapi mungkin
itu juga wajar soalnya kamu sayang sama bapakmu. Coba aja lihat cerita Layla
dan Majnun, itu sampai gila si Majnun gara-gara Layla. Jadi mungkin itu karena
kamu terlalu sayang sama bapakmu Fa”
“Saya setuju dengan pendapatnya Evan”
ucapku “Karena bagaimanapun kita nggak bisa sebut orang gila dan enggak karena
itu hanya persepsi. Kita anggak diri kita waras karena kita dan orang lain
percaya kalau kita waras, dan begitupula sebaliknya. Coba aja lihat orang gila,
bahkan ada juga yang sampai sholat, sholawatan, kita nggak pernah tahu apakah
mereka memang gila atau memang udah sampai tingkatan tasawuf. Kita nggak pernah
tahu”
“Btw yang sholat tapi gila itu,
keterima gak sholatnya?” tanya Zulaikha
“Ya mana tahu, dalam Islam syarat
beragama kan berakal” jawab Evan.
“Bener tuh yang dikatakan Evan, Tapi
balik lagi, emang kamu yakin mereka gila? Atau selama ini, kita yang sebenarnya
gila?”
Kami semua diam, Wahab, Dewi, sedari
tadi juga diam. Mereka asik DDN, Diam-Diam Nyimak.
“Tapi kau tahu? Aku iri sama kamu
Zul” ucapku
“Kenapa?”
“Karena bapakmu masih peduli sama
kamu, padahal beliau sudah meninggal. Setiap ayah di muka Bumi ini pasti ingin
anaknya hidup tenang dan bahagia, apalagi kalau anaknya perempuan. Dan bapak
kamu udah buktiin itu. Tapi dilain sisi, aku juga bingung apakah kamu memang
harus ikhlas atau nggak, bagaimanapun karena kamu sayang sama bapakmu dan
karena kamu nggak ikhlas, bapak kamu jadi tetap datang dalam mimpimu, dan kamu
bisa lepas rindu disana. Lagipula, siapa sih orang yang nggak pengen ketemu
sama orang yang mereka sayang? Tapi balik lagi Zulaikha, bapak kamu mungkin
nggak bisa tenang di alam sana gara-gara kamu nggak ikhlas, ia juga berhak
tenang dan bahagia di alam sana. Jadi untuk urusan ini, ikhlas enggaknya, aku
akan serahkan semuanya pada kamu. Berdamai dengan diri sendiri memang nggak
bisa langsung, jadi ini semua tergantung kamu”
Jam demi jam berganti, dan
perpusatakaan kian sepi. Kami segera keluar dari perpustakaan dan kemudian memutuskan
untuk pulang. Dalam tugas UAS Akidah Akhlak ini, tinggal aku yang belum jadi, lagipula
yang susun kan aku sama Evan, jadi bolehlah aku santuy.
Tapi kadang ketika aku dengar
cerita ini, aku jadi merinding. Soalnya aku bisa membayangkan Zulaikha waktu
itu yang memarahi setiap orang dan menyangkal bahwa ayahnya telah meninggal. Aku
bisa membayangkan bagaimana dirinya akan berdoa sepenuh hati agar ayahnya bisa
sembuh dari penyakit kangker yang menggerogoti tubuh tersebut kian detik.
Aku bisa merasakannya.
Dinding rumah sakit lebih sering
mendengar doa-doa orang tulus dan pencinta dibandingkan rumah ibadahpun di muka
Bumi ini. Namun sayang tulusnya doa terkadang memang akan kalah oleh takdir
yang telah ditetapkan Tuhan.
Manusia diperintahkan untuk
ikhlas dan tawakkal, namun mempelajari dua hal tersebut tentu akan sulit karena
akan berkaitan dengan keimanan umat manusia.
Dan terakhir, jikalau kamu berdoa
dengan tulus dan doa kamu tidak diterima oleh Tuhan.
Bersabar yaa…
Yang berdoa dengan tulus bukan
hanya kamu.
|
Dokumentasi Semester IV, Evaluasi Pembelajaran |
|
Dokumentasi di Semester V, Desain Pembelajaran |