Ibu menyuruhku membawakan kak Nah
nasi dan lauk pauk, mungkin sudah beberpa kali kuceritakan siapa kak Nah itu.
Iya, dia adalah keluargaku yang gila karena gagal dalam bisnis MLM. Saat itu
juga bertepatan dengan milad Hammasah, jadi aku sedang membuat video bersama
Yazid.
Aku menyalakan motor dan segera
meluncur, disana aku menemukan kak Nah sedang di borgol. Kakinya terikat oleh
sebuah rantai yang memanjang sampai ia tidak bisa kekamar mandi. Alhasil, ia
menggunakan plastik untuk menampung beraknya sendiri.
Sedih aku melihat semua itu, ia
hanya bisa terduduk tanpa kemana-mana dengan rantai yang menjuntai seperti
gajah-gajah di India. Aku terdiam begitu lama disaat kak Nah mulai berbicara,
kadang lucu juga bagaimana bahasa Sasak dan Indonesia bercampur menjadi satu,
namun aku tidak bisa lama, jadi ia kusalami lalu aku peluk.
Dan ia menangis.
“Jangan peluk kakak” ucapnya
sambil tersedu “Kakak jadi menangis”
Dan saat itu aku merasakannya.
Aku bisa membayangkan bagaimana kau dirantai pada sebuah kamar, tidak bisa
kemana-mana, tidak bebas melakukan apa-apa. Aku bisa merasakan kesedihan itu
bagaimana orang akan menganggapmu aneh dan terdriskriminasi dari sosial.
Kak Nah kemudian menyuruhku untuk
membeli obat di Puskesmas Kopang, dan aku segera beranjak kesana sembari
membawa tiga toples jajan yang dimiliki kak Nah. Sudah lama aku tidak ketempat
ini sampai aku lupa tempatnya dimana. Aku bahkan sampai bertanya pada
orang-orang disamping jalan.
Dan sesampainya disana aku segera
memarkir motor, turun dan berjalan melihat-lihat rumah sakit. Aku membutuhkan
ini, ucapku dalam hati. Sebab pada bangsal-bangsal itu aku bisa merasakan jiwa
sastraku menggelora untuk menciptakan nuansa horor dalam ceritaku nanti. Aku
bisa merasakan bagaimana pembacaku akan bergidik membaca ceritaku, membuat
mereka tidak bisa tidur semalaman.
Aku tidak menemukan seorangpun
kecuali beberapa, ketika aku berjalan-jalan melewati bangsal-bangsal itu tiada
kutemukan orang-orang sakit, seingatku dulu berbeda, tapi aku tidak berpikir
banyak hal sebab yang aku inginkan adalah menikmati momen-momen itu, bagaimana
aku bisa membuat kengerian melalui ceritaku.
Tiba-tiba ada yang menyahut dan
aku berbalik hadap. Seorang pria dengan masker bewarna hitam berdiri didepanku,
pakaiannya hijau, ia kemudian menanyaiku mengapa sebab ini adalah hari minggu
dan minggu berarti libur. Dan mungkin ia berpikir aku ingin mencuri.
Aku mengatakan kepadanya bahwa
ada pasien di Montong Gamang yang membutuhkan pertolongan, ia terkena mencret
sampai bab nya bahkan berbentuk ingus. Pria itu langsung mengerti dan membawaku
ke sebuah kursi, ia menulis banyak hal, sesekali bertanya dan aku menjawabnya.
Awalnya ia tidak mengerti namun
aku mengatakan Dokter Linda. Dokter Linda sendiri adalah dokter yang menangani
kak Nah dan si pria itu mulai mengerti. Namun permasalahannya ini adalah hari
minggu dan ia membutuhkan izin untuk memberikan obat. Untungnya ada seorang
dokter yang berjalan dan segera ia datangi, dokter itu sepertinya liburan sebab
ia tidak menggunakan seragam melainkan batik. Dan dokter itu mengizinkan.
“Penyakit itu parah” ucap pria
itu “Itu namanya muntaber”
Aku tidak tahu muntaber itu apa,
yang jelas muntah berak, akan tetapi data kematian dan seberapa parahnya aku
tidak tahu. Dokter itu menjelaskan pemakaian obat yang boleh dikonsumsi saat
pagi dan maghrib, satu obatnya lagi parah juga sebab harus dikonsumsi kapanpun
kita ke kamar mandi.
Selepas kerumah sakit aku segera
kerumah Kenzhie sembari memberikan kue kak Nah. Kak As langsung menyembunyikan
kue itu karena Kenzhie tidak boleh memakan apapun yang mengandung telur. Dan
selepas itu aku kembali ke Montong Gamang untuk memberikan obat dan
mengembalikan uang kak Nah yang ia berikan.
Aku pulang, meninggalkan rumah
tua itu dan melajukan motorku. Aku sempat melihat orang gila juga, namun orang
ini menggunakan motor, ia menggunakan helm namun ditempeli bola diatasnya,
karena sembari naik motor aku tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana ia berpenampilan,
tapi seingatku ia membawa selang yang disampir di lengannya. Namun aku tidak
peduli, aku kembali melanjutkan motorku.
Semakin aku melajukan motor, aku
semakin mengerti bahwa dunia itu laksana perjudian, kita bertaruh setiap hari,
berharap menemukan yang terbaik pada
hari ini, namun pada suatu titik, kita kalah dan terjatuh, jatuh
sedalam-dalamnya sampai tidak ingin bangkit kembali, jatuh sedalam-dalamnya
sampai tidak ada yang berani memeluk kecuali trauma.
***
Ketika aku telah memasukkan motor
ke garasi malah ibuku menyuruh aku mengantar kelapa ke rumah kak As. Kak As
memang membutuhkan kelapa untuk mengobati penyakitnya, dan sepertinya aku
memang harus kesana.
Aku mengeluarkan motor kemudian
beranjak pergi dari rumah, berbelok kiri pada pertigaan dan semakin melajukan
motorku. Terkadang aku freestyle di jalanan dengan caraku sendiri, dan
sesampainya disana aku langsung memberikan kelapa itu.
Anak-anak seperti biasa sedang
bermain game, dan aku diabaikan, aku datang ke Kenzhie yang juga sedang bermain,
namun aku berkata aku akan pulang, ia tidak mau, ditariknya tanganku agar aku
ada disampingnya agar aku mau menontonnya bermain Dude Theft War. Namun
aku berkata aku harus pulang.
Kak As menyuruhku membawa pisang,
dan selain kak Desi ada juga nenek tua disana namun aku tidak tahu dia siapa.
Ketika Kenzhie kusuruh masuk kekamar untuk mengambil handphone di Naufal, aku
segera kabur namun diriku ditahu. Kenzhie menangis dan mengejar namun
langkahnya tercekat oleh ibunya, ia meronta dan menangis keras, aku diam dan
meminta ibunya untuk membiarkan aku membawanya.
“Pergi!” ucap kak As
Aku kemudian kembali menarik gas
dan hanya suara Kenzhie yang terdengar. Aku sedih sekaligus bahagia. Aku sedih
karena dia tidak bisa ikut denganku, namun aku juga bahagia bahwa ternyata
masih ada orang yang menyayangiku, dan merasa bahwa aku tempatnya pulang.