Sabtu, 19 Juni 2021

Hilang Rasa

 

Tuhan, kenapa aku masih hidup? Kau Yang Maha Benar, Kau Yang Menyingkap Keburukan, mengapa? Bukankah begitu mudah kau hanya bilang Kun, maka aku akan tiada? Bukankah kau bisa melakukannya? Mengapa kau tak bunuh aku saja? Bunuh aku dengan ucapanmu, kau hanya perlu berkata Kun, hanya itu, Ya Allah, kenapa? Harus berapa kali sujud ya Allah, harus berapa kali aku rukuk, membungkuk menghadap kiblat yang engkau tetapkan, harus berapa kali lagi?

Aku pasrah ya Allah, aku cuma ingin tiada, hanya itu.

Hari ini Sabtu, dunia berjalan seperti biasa, aku bangun jam 3 karena Upa, akan tetapi kemudian aku tidur lagi, yah, kind of fuck, bajingan emang, padahal aku hanya ingin memulai hariku lebih awal, mengejar impianku lebih awal, namun aku kalah, aku kalah, kalah, kalah, kalah, kalah dan kalah, ah, aku memang pecundang, bangun jam segitu aja aku nggak bisa, bagaimana mungkin aku bisa membangunkan semangat negeri?

Namun yang paling parah adalah hari disaat mulai benderang, siang menjelang, dan ibuku menelpon kak Ninin, kak Ninin saat itu mau pergi jalan jalan sama temannya, Novi, terlebih karena anaknya selalu menangis di rumah.

Dan setelah itu, ia menelpon kak Ali, ibuku sampai sesenggukan karena yang terjadi pada mereka. Dan aku juga ikutan sedih, aku membenci kak Ali, padahal dulu aku menyukainya saat aku masih kecil, namun sekarang, respect itu telah tiada, dan tidak lagi kutemukan rasa hormatku kepadanya.

Aku membencinya, sangat.

Dan kesedihanku meluap ketika aku melihat lebih dekat wajah ibuku, kulihat wajahnya yang penuh kerutan, warna hitam dibawah kelopak matanya menjadi tanda bahwa ia tidak bisa tertidur sepanjang malam, semua karena masalah kak Ali ini, iblis! Aku benci keadaan ini, aku benci karena aku tidak bisa merubah apapun, dan semakin membenci keadaan ketika aku menemukan fakta yang lebih menyakitkan daripada hal ini. Ya, benar, aku telah ditipu.

Ibuku bercerita banyak siang itu, tentang ayahku, tentang kehidupan yang kita jalani, lalu melakukan perbandingan dengan kak Ali. Ayahku orangnya teliti, sangat teliti dalam manajemen keuangan, kehebatannya bisa dilihat dari apa yang telah dibangun, dua rumah, dilakukannya sendiri, dipikirkannya sendiri, kami tidak tahu apa-apa dan seketika rumah ini dan itu bisa berdiri dengan gagahnya, menjadi tempat kita tinggal.

Ayahku sampai bisa menangkap tanah dengan harga 100 juta, melakukan kerjasama dengan keluargaku yang berada di Mentinggo. Akhirnya, kami makan lewat sana, ketika musim padi, kami akan mendapat keuntungan beras untuk kami makan, dan ketika musim tembakau, yang mendapat keuntungan adalah keluargaku yang ada di Mentinggo.

Ayahku hanya pensiunan, kesehatannya memburuk karena masalah ini, masalah yang sebenarnya telah merasuk kedalam akar-akar terdalam suatu pondasi keluarga, seperti belatung, ia awalnya hanyalah benih larva yang semakin membesar dan dewasa, kemudian semakin membusuk karena luka itu semakin ditinggali belatung-belatung yang kelaparan, dan keadaan semakin memburuk dan memburuk.

Ayahku hanya memiliki gaji 4 Juta untuk satu bulan, satu bulan, 4 juta. Aku menanyakan tentang tunggangan dari pemerintah, dan aku semakin sakit hati karena ternyata tunggangan itu hanyalah kefanaan, aku berpikir bahwa kuliahku akan gratis, aku berpikir bahwa apa yang dikatakan orangtuaku dulu adalah benar, namun ternyata, semua adalah kekosongan.

Aku ingin mengabdi ayah!

Iya, tapi jika kamu mengabdi maka tunjangan itu tidak dapat diambil. Lebih baik kamu langsung kuliah, sebab dengan begitu maka nantu kuliahmu bisa gratis.

Saat itu aku pada akhirnya mengiyakan, mengira bahwa bahwasanya tunjangan itu setidaknya tidak akan lagi membuat aku menjadi beban keluarga, namun ternya semua adalah omong kosong, sebab pada faktanya kuliah gratis itu hanya ilusi yang diciptakan orangtuaku.

Aku dibohongi oleh orang yang sangat aku percayai, dan aku sekarang baru tahu bahwa aku telah mengorbankan pengabdianku di pondok hanya untuk uang 200.000 rp.

Benar, mimpiku ternyata hanya seharga 200 ribu.

Share:

0 comments:

Posting Komentar