Tuhan, kenapa aku masih hidup?
Kau Yang Maha Benar, Kau Yang Menyingkap Keburukan, mengapa? Bukankah begitu
mudah kau hanya bilang Kun, maka aku akan tiada? Bukankah kau bisa
melakukannya? Mengapa kau tak bunuh aku saja? Bunuh aku dengan ucapanmu, kau
hanya perlu berkata Kun, hanya itu, Ya Allah, kenapa? Harus berapa kali sujud
ya Allah, harus berapa kali aku rukuk, membungkuk menghadap kiblat yang engkau
tetapkan, harus berapa kali lagi?
Aku pasrah ya Allah, aku cuma
ingin tiada, hanya itu.
Hari ini Sabtu, dunia berjalan
seperti biasa, aku bangun jam 3 karena Upa, akan tetapi kemudian aku tidur
lagi, yah, kind of fuck, bajingan emang, padahal aku hanya ingin memulai hariku
lebih awal, mengejar impianku lebih awal, namun aku kalah, aku kalah, kalah,
kalah, kalah, kalah dan kalah, ah, aku memang pecundang, bangun jam segitu aja
aku nggak bisa, bagaimana mungkin aku bisa membangunkan semangat negeri?
Namun yang paling parah adalah
hari disaat mulai benderang, siang menjelang, dan ibuku menelpon kak Ninin, kak
Ninin saat itu mau pergi jalan jalan sama temannya, Novi, terlebih karena
anaknya selalu menangis di rumah.
Dan setelah itu, ia menelpon kak
Ali, ibuku sampai sesenggukan karena yang terjadi pada mereka. Dan aku juga
ikutan sedih, aku membenci kak Ali, padahal dulu aku menyukainya saat aku masih
kecil, namun sekarang, respect itu telah tiada, dan tidak lagi kutemukan rasa hormatku
kepadanya.
Aku membencinya, sangat.
Dan kesedihanku meluap ketika aku
melihat lebih dekat wajah ibuku, kulihat wajahnya yang penuh kerutan, warna
hitam dibawah kelopak matanya menjadi tanda bahwa ia tidak bisa tertidur
sepanjang malam, semua karena masalah kak Ali ini, iblis! Aku benci keadaan
ini, aku benci karena aku tidak bisa merubah apapun, dan semakin membenci
keadaan ketika aku menemukan fakta yang lebih menyakitkan daripada hal ini. Ya,
benar, aku telah ditipu.
Ibuku bercerita banyak siang itu,
tentang ayahku, tentang kehidupan yang kita jalani, lalu melakukan perbandingan
dengan kak Ali. Ayahku orangnya teliti, sangat teliti dalam manajemen keuangan,
kehebatannya bisa dilihat dari apa yang telah dibangun, dua rumah, dilakukannya
sendiri, dipikirkannya sendiri, kami tidak tahu apa-apa dan seketika rumah ini
dan itu bisa berdiri dengan gagahnya, menjadi tempat kita tinggal.
Ayahku sampai bisa menangkap
tanah dengan harga 100 juta, melakukan kerjasama dengan keluargaku yang berada
di Mentinggo. Akhirnya, kami makan lewat sana, ketika musim padi, kami akan
mendapat keuntungan beras untuk kami makan, dan ketika musim tembakau, yang
mendapat keuntungan adalah keluargaku yang ada di Mentinggo.
Ayahku hanya pensiunan,
kesehatannya memburuk karena masalah ini, masalah yang sebenarnya telah merasuk
kedalam akar-akar terdalam suatu pondasi keluarga, seperti belatung, ia awalnya
hanyalah benih larva yang semakin membesar dan dewasa, kemudian semakin
membusuk karena luka itu semakin ditinggali belatung-belatung yang kelaparan,
dan keadaan semakin memburuk dan memburuk.
Ayahku hanya memiliki gaji 4 Juta
untuk satu bulan, satu bulan, 4 juta. Aku menanyakan tentang tunggangan dari
pemerintah, dan aku semakin sakit hati karena ternyata tunggangan itu hanyalah
kefanaan, aku berpikir bahwa kuliahku akan gratis, aku berpikir bahwa apa yang
dikatakan orangtuaku dulu adalah benar, namun ternyata, semua adalah
kekosongan.
Aku ingin mengabdi ayah!
Iya, tapi jika kamu mengabdi
maka tunjangan itu tidak dapat diambil. Lebih baik kamu langsung kuliah, sebab
dengan begitu maka nantu kuliahmu bisa gratis.
Saat itu aku pada akhirnya
mengiyakan, mengira bahwa bahwasanya tunjangan itu setidaknya tidak akan lagi
membuat aku menjadi beban keluarga, namun ternya semua adalah omong kosong,
sebab pada faktanya kuliah gratis itu hanya ilusi yang diciptakan orangtuaku.
Aku dibohongi oleh orang yang
sangat aku percayai, dan aku sekarang baru tahu bahwa aku telah mengorbankan
pengabdianku di pondok hanya untuk uang 200.000 rp.
Benar, mimpiku ternyata hanya
seharga 200 ribu.
0 comments:
Posting Komentar