Sebuah Catatan dari Seorang Beban Keluarga
Setel musik dulu nggak sih?
Kalau kamu membaca tulisan ini, berarti ulang tahunku sudah
semakin dekat, dan aku akan melakukan hal yang sama seperti orang-orang pada
umumnya; melakukan refleksi, merenung, mengurung diri dalam kamar dan ngomak-ngamuk
sembari mempertanyakan satu hal; betapa tidak bergunanya aku dalam hidup ini.
Mei tahun 2024 adalah ulang tahun terburuk sebab disanalah ayahku
meninggal tanpa sempat melihat toga di atas kepala, dan kepergiannya membuat
aku merasa kosong. Aku merasa gagal. Aku jatuh dan molor untuk wisuda, aku tak
merasa berarti dan merasa tahun-tahun perkuliahan adalah tahun-tahun yang
sia-sia. Aku tak mengingat bahwa aku telah menjadi ketua HMJ, aku tak mengingat
bahwa aku telah menjadi bagian kaderisasi di PMII, aku tak mengingat bahwa aku
telah memiliki prestasi-prestasi, menulis ratusan lebih artikel saat menjadi
mahasiswa, atau tak juga mengingat bagaimana orang-orang berterima kasih
kepadaku. Semuanya terasa kosong dan nyaris tanpa makna. Momen itu aku
menyadari bahwasanya aku tidak hanya kehilangan sesosok ayah, tetapi kehilangan
sebagian makna hidupku.
Satu-satunya cara aku bertahan saat itu adalah dengan
membaca buku; menggunakan 50% dari gaji untuk membeli buku-buku yang aku mau,
duduk di atas kursi sepanjang hari dan terus membaca, menulusuri kalimat demi
kalimat, menyusur kata, membelah paragraf. Bab demi bab yang kosong dengan hati
yang belum terisi. Maka pada bulan ini aku telah bersiap-siap dengan segala hal
yang buruk, misalnya saja kaki kejepit pintu atau tiba-tiba Dajjal datang
sambil joget Samba. Barangkali, aku telah siap.
Aku percaya bahwa selama aku membaca buku dan belajar,
berdiskusi, dan bertemu dengan orang-orang hebat maka aku akan terus bertumbuh.
Namun, apakah itu benar-benar kemauanku? Apakah aku benar-benar berarti dan
layak hidup? Aku mengingat Ace di anime One Piece yang dijebol Akainu, dan pada
momen itulah ia memahami bahwa dirinya sangat berharga. Lalu pertanyaan kepada
diriku sendiri; apakah aku akan tahu bahwa diriku berharga jikalau aku mati
nanti, barangkali saat sebuah insiden atau masa-masa sekarat, melihat sekilas
hidup yang aku jalani; apakah aku sudah cukup baik menjadi seorang hamba untuk
bertemu dengan kekasihnya? Aku mempertanyakan itu.
Namun aku juga hidup di dunia yang realistis, sebuah dunia
yang memandang manusia satu dengan manusia lainnya atas asas statistik dan
angka. Di dunia ini, jika kita tidak memiliki uang, kita tidak akan dianggap.
Perempuan dan wanita terkadang sangat kejam kepada lelaki miskin. Di dunia ini,
IPK dan skor pelajaran seolah sangat berarti untuk menentukan bahwa orang itu
berguna atau tidak, dan hal yang paling lucu; anak-anak juga dilihat sebagai bisnis,
ia adalah saham berjalan untuk orangtua mereka, dan orangtua akan berinvestasi
pada anaknya melalui susu saat bayi, biaya makan dan pendidikan, atau
sejenisnya, dan sebab orangtua adalah donatur, dan sebab anak dianggap sebagai saham,
maka ia memiliki hak untuk mempertanyakan hasil dari investasinya, sebuah profit
maupun keuntungan, atau apalah namanya.
Maka inilah masalahnya. Tuhan tak pernah menurunkan
kalkulatornya di Bumi sehingga kebaikan-kebaikan dan cinta tak dapat dikalkulasi.
Menurutku itu adalah blunder yang dilakukan oleh Tuhan sebab orang-orang
mempertanyakan makna mereka; seorang pengangguran yang membantu nenek
menyebrang jalan, seorang pengais sampah wanita yang menahan diri agar tidak
memakan sebungkus nasi yang ia miliki sebab ada anaknya yang menanti di rumah.
Aku percaya bahwa aku dikelilingi oleh orang-orang baik, orang-orang baik yang
terkadang juga mempertanyakan apakah kebaikannya sudah cukup untuk dianggap
bermakna. Sebagaimana mereka, aku juga mempertanyakan hal yang sama.
Tahun ini aku setidaknya masih bisa berprestasi, masih bisa
membantu kawan-kawanku meminang gelar-gelar di kampusnya, masih bisa melihat
orang-orang yang sempat aku didik berprestasi, diundang jadi pemateri, dan
masih bisa mempertahankan idealisme agar orang-orang mempercayai bahwasanya
Tuhan belum mati dan tidak pernah tertidur. Namun seperti kataku tadi, apakah
itu sudah cukup? Beberapa kebaikan tidak berbekas dalam bentuk angka, ia hanya
kembali kepada Tuhan Yang Maha Mengingat, dan aku percaya bahwa Tuhan mengingat
kebaikan-kebaikan yang pernah diberikan manusia kepada manusia, alam, dan
sekitarnya.
Hanya saja tanpa angka-angka dan gelar, tanpa hasil yang
bisa ditunjukkan, aku ingin tahu apakah kebaikan-kebaikan itu memiliki makna,
sebab kebaikan tidak pernah menjadi statistika. Namun aku berharap, setitik air
yang aku berikan kepada orang lain bisa membuat Tuhan tersenyum, dan tentu
saja, bisa membuat ayahku bangga.
Tahun ini diiringi dengan percekcokan keluarga yang aku
sudah bodo amat, dan usaha-usaha diriku untuk bisa menjadi lebih baik. Sebagaimana
manusia lainnya, aku tetap berusaha walau banyak gagalnya, aku mencoba
mendaftar beasiswa, masih mencoba mempertahankan diri untuk berbuat baik, masih
menjadi pengangguran dengan ide bisnis yang akan kami jalankan bulan depan, masih
berusaha menulis dan menjadi konten kreator, dan masih mencoba untuk mendengarkan
cerita orang lain kendati aku akan melemparkan sedikit humor agar membuat
dirinya tertawa.
Tahun ini aku membuat komunitas Laron, menjadi WAPIC di LBP,
dan karyaku terpilih untuk diterbitkan sebagai buku. Tentunya;
Aku masih hidup sebagai manusia dengan gagal jatuhnya. Semoga
yang baik berbiak, dan semoga keberkahan tercurahkan kepada kita selalu. Salam
cinta dariku untuk diriku, salam cinta dari Tuhan untuk semesta alam.
Untuk Allah, Tuhan yang aku cintai dan aku sayangi;
percayalah walau aku tidak akan pernah sesuci nabi Muhammad Saw. walau aku
berlumur dosa dan seberapa besar pun aku berusaha menjadi baik, aku masih tidak
merasa pantas menyebut diriku sebagai seorang kekasih, aku masih tidak merasa
pantas bahkan untuk mendapatkan janji-janji surgamu, apalagi duduk di
emperannya. Pun aku juga tidak merasa pantas untuk menerima kasih sayang yang
selalu engkau berikan tanpa aku meminta, juga aku tidak pernah merasa pantas menerima
semua yang engkau titipkan padaku. Suatu saat nanti jika engkau bertanya tangan,
kaki, mata, pikiran ataupun mulut ini aku gunakan untuk apa semasa hidup, aku
juga tidak tahu menjawab apa, sebab aku selalu merasa tidak pernah cukup untuk menebus
satu mili kebaikanMu, bahkan menebus dosa jika ia dianggap sebagai hutang.
Sebagai hambaMu, aku selalu berharap bisa membuatMu tertawa maupun bahagia,
tetapi komediku barangkali tidak akan pernah lucu, sebab engkau Maha Tahu.
Ya Allah, untuk kakek, nenek, dan ayahku yang telah meninggal
dunia. Padamu aku meminta agar mereka disayang dan dihapus dosa-dosanya,
kemudian dimasukkan kedalam surga Firdaus. Intinya surga Firdaus, hambamu ini
tidak mau surga yang lain.
Dan satu lagi, aku mau menitip pesan kepada ayah dan
permintaan maaf; anakmu gagal menjadi mahasiswa terbaik, ia gagal mendapatkan
IPK 4.0 sebagaimana yang ayah harapkan saat aku semester 3. Katakan kepadanya
bahwa ia masih gagal banyak hal di dalam hidup, masih ceroboh dan
tergopoh-gopoh, masih sering lupa, masih suka menonton anime dan lalai. Katakan
kepadanya bahwa aku mencintainya, dan masih berusaha melampaui ayah dalam
segala hal seperti prestasi, ketenaran, finansial, dan kebaikan. Katakan
kepadanya bahwa aku selalu mencoba, namun aku masih banyak gagalnya.
Ini adalah Sebuah Catatan dari Seorang Beban Keluarga pada
bulan Mei untuk menyambut ulang tahunnya yang ke-24. Semoga yang baik berbiak, semoga
cinta dan kasih tercurah dari segala penjuru semesta. Oh, Tuhan, jadikanlah aku
cahaya.
Terimakasih telah membaca.