Senin, 13 Desember 2021

Kapan Nadi Ini Kukoyak?

 

 Kapan Nadi Ini Kukoyak?

Kapan Nadi Ini Kukoyak?
Pixabay


Setiap kali aku menatap pergelangan tanganku, kadang pemikiranku untuk mengoyaknya semakin tajam dan semakin tergambar jelas. Namun imajinasiku sebatas rasio dan bukan empiris, sebab pada akhirnya, aku hanya bisa membayangkan hal itu terjadi, sementara dikmudian hari apakah hal itu menjadi kenyataan atau hanya sekedar bayangan, aku tidak tahu.

Pun jika aku harus mengoyak tanganku dengan silet, aku tidak tahu harus seberapa dalam dan akan seberapa menyakitkan. Sebab dulu aku pernah mencoba menenggalamkan diriku sendiri pada sebuah bak berisi air ketika aku masih kecil, menahan napas sebisa mungkin sampai aku tidak mampu dan diriku terpaksa terjungkal dengan napas terengah-engah.

Pada hakikatnya, tubuh kita, semua bagian sel dari tubuh kita telah dirancang Tuhan untuk menjaga manusia dari marabahaya. Bahkan otak kita sendiri pun dirancang demikian agar kita bisa menjaga diri serta menganalisa apa yang akan terjadi.

Memang pada akhirnya dengan adanya akal yang semakin meninggi kita akan semakin maju, akan tetapi ada iman yang ditinggalkan manusia, satu persatu hingga kita mungkin mengatakan bahwasanya diri kita sendirilah yang sebenarnya Tuhan, dan Tuhan hanyalah karangan manusia.

Namun terlepas dari semua itu, apakah kemampuan tersebut adalah berkah dari Tuhan atau malapetaka, aku tidak tahu. Bahkan ketika aku semakin beranjak dewasa, aku semakin jauh dari-Nya. Bahkan sampai berpikir bahwasanya Tuhan semestinya tidak terlalu ikut campur akan urusan yang dimiliki manusia, Tuhan cukup menciptakan dan menyaksikan, dan entah apa suatu saat nanti manusia membawa diri mereka kepada kehancuran, tidak pernah ada yang tahu, pun Tuhan yang tahu hal itu pasti hanya diam saja.

Aku juga menulis ini di blog dan bukan Kompasiana karena aku tahu bahwa mereka yang singgah di blog ini hanya sekedar melihat informasi belaka, dan lagipula, blog ini masih teramat-amat baru sehingga menjadi alasan adsense menolaknya. Visitornya juga sedikit, jadi apakah hal itu malapetaka? Oh, tidak juga, sebab aku bisa melakukan semaunya di blog ini, menulis apapun tentang depresi dan kekonyolan, atau apapun jua. Kadang tidak terlihat dan dianggap ada adalah anugerah, dan kini aku merasakannya.

Tadi malam aku krisis mental lagi, bercerita pada temanku juga ternyata tidak memperbaiki apapun. Mood yang kumiliki rusak dan berantakan, pikiranku melayang-layang dan bertabrakan, tugasku menumpuk, tuntutan hidup dari keluarga juga semakin meningkat, aku merasakan diriku terhujam berkali-kali oleh belati tak kasat namun mampu menembus jantung.

Aku ambruk. Dan yang kuharapkan adalah Tuhan yang segera mencabut nyawaku. Aku merintih dalam sunyi, ingin menangis dalam-dalam namun air mata yang kumiliki menolak untuk keluar. Aku tidak ingin hidup lagi, cukup, semua kebohongan dari orang-orang yang aku percayai dan orang-orang yang aku sayangi, cukup.

Setiap kali aku melihat pergelangan tanganku, aku menatap nadi yang berdenyut itu berkali-kali, menanyakan harus seberapa dalam dan seberapa menyakitkan hal yang harus kutempuh. Bertanya harus berapa gesekan dan berapa tajam pisau yang akan aku gunakan, aku bertanya berkali-kali dan berharap hal itu terjadi. Namun ketika aku ingin melakukannya, bayangan-bayangan yang lain muncul, setiap perasaan yang mungkin akan aku tinggalkan, setiap senyuman dan tawa yang aku berikan kepada orang, akankah ia menjadi air mata?

Aku mencintai kalian kendati aku memiliki jiwa dan tubuh yang lemah, berharap bisa bersama kalian terus menerus, berharap bersama kalian sampai Tuhan yang mengakhiri bab buku kehidupan yang aku jalani dengan indah.

Dan setiap mimpi yang pernah aku tulis diatas kertas, setiap lirik musik yang entah kapan aku lantunkan, setiap bait puisi yang kadang aku renungkan…. 

Maafkan aku, aku tidak mampu…

Aku ingin pulang walau aku nggak tahu harus pulang kemana lagi, bahkan jika aku pada akhirnya aku akan melakukannya, akankah Tuhan menerimaku sebagai manusia yang kalah? Dan nanti bila tubuhku terkubur di tanah, siapa yang akan memeluknya? Akankah aku sendiri?

Aku berharap Tuhan tidak pernah ada, aku berharap diriku tidak pernah diciptakan, aku berharap hidupku berakhir begitu saja. Namun Tuhan, kau hanya berkata untuk sabar dan terus bersabar, aku tidak mampu lagi, bahkan ketika engkau mengatakan akan memberikan kami ‘hadiah’ dari arah yang tidak disangka-sangka, aku terkadang tidak peduli lagi. Namun jika hadiah itu memanglah perintah mati, aku berharap hadiah itu cepat datangnya.

Untuk kalian, jika pada suatu saat nanti kalian membaca tulisan ini. Maafkan aku yang telah begitu lemah sehingga kalian membaca curhatan brengsek ini. Pergilah, aku sedang ingin sendiri, berbicara dengan diriku pribadi, tulisan ini bukan untuk siapapun, dan semoga Tuhan mengabulkan doa itu.

Aku telah kehilangan makna dan pemaknaan, cinta dan kasih kini hanya ilusi. Kerapkali aku merasakan Tuhan hadir, memelukku sejenak dalam diam dan sunyi dengan ketenangannya. Namun tidak pernah cukup, duniaku terlalu berisik, kesunyian yang aku miliki hanya ilusi.

Aku tidak tahu apakah nadi yang kumiliki akan selamanya utuh dan berdenyut. Pada suatu masa yang bergerak maju, apapun yang terjadi-terjadilah. Jika pada akhirnya Tuhan menyuruhku untuk bersabar lagi, jika pada akhirnya imajinasiku menjelma nyata, aku sudah tidak memikirkannya lagi.

Pada suatu titik, apa yang terjadi, terjadilah….

Lagipula aku tidak akan pernah tahu akan semenyakitkan apa, akan sedalam apa, erntahlah….


Share:

Minggu, 12 Desember 2021

Terkadang, Aku Berharap Diriku Tidak Pernah Dilahirkan

 

 Terkadang, Aku Berharap Diriku Tidak Pernah Dilahirkan

Aku mungkin hanya segumpal daging kegagalan yang berjalan tiada tentu arah, memandang dunia sialan ini sebagai kutukan yang membersamaiku sampai aku benar-benar terlepas. Aku tidak seperti kebanyakan orang yang memiliki mental yang kuat, dan aku menyadarinya. Terkadang mungkin aku mungkin akan seperti Arthur Fleck yang tertawa tanpa sebab, entah karena aku memiliki kelainan jiwa, atau mungkin tawa itu adalah bukti nyata bahwa selama ini aku merasa kesepian.

Terkadang, Aku Berharap Diriku Tidak Pernah Dilahirkan
Pixabay

Tulisan ini juga aku tulis dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, entah mengapa belakangan ini kepalaku terasa seperti gunung yang siap meledak, aku kerapkali tiba-tiba pusing, terkadang juga mual. Dugaan terburukku adalah aku terkena penyakit kangker, dugaan terbaik ia hanyalah pusing biasa dan bisa dibunuh hanya dengan sebutir Paracetamol.

Namun menatap dunia yang penuh keajabian ini melalui kacamata yang suram hanya membawaku pada rasa yang hampa, aku melihat gelapnya saja, memang begitu banyak kemilau yang mungkin saja diriku abaikan, akan tetapi, gelapnya lebih sering membersamaiku dan membawaku pada realita hidup yang aku pijaki.

Aku telah gagal berkali-kali, dan sekali lagi, aku gagal. Namun waktuku masih panjang, aku masih bisa mengurai-ngurai cerita, akan tetapi aku merasa muak, lumpur kegagalan itu tidak hanya menenggelamkan aku begitu dalam, namun melainkan telah masuk kedalam mulutku dan bersemayang didalam organ-organ tubuh.

Aku ingin menyerah, terkadang berdoa kepada Tuhan mengapa bukan diriku yang tidak berguna ini saja yang tercerabut nyawanya, mengapa harus orang lain? Dan terkadang mengapa harus orang yang kita cintai? Aku lelah Tuhan, aku lelah. Apa dosaku masih terlalu banyak sehingga engkau tidak mau menerimaku?

Hidupku juga dipenuhi banyak tuntutan, dan bukan hanya faktor eksternal, melainkan juga faktor internal. Faktor eksternalnya adalah aku harus menjadi ini dan itu, harus mendapatkan IPK segini dan segitu, harus empat, ya, harus empat, agar besok bisa kita pamerkan pada dunia sembari berteriak; Hey Dunia! Diatasmu pernah ada manusia yang memiliki IPK empat! IPK sempurna!

Dan aku juga menjadi lelah, mungkin karena terlalu menuntut diriku sendiri, mengatakan semangat kecil kepada diriku sendiri dan berkata, ayo, kamu pasti bisa! Namun ternyata aku tidak bisa. Bahkan mengerjakan tugas-tugas sesederhana itu saja aku tidak mampu, bodoh? Ya, aku sangat teramat bodoh, namun aku selalu mencoba dan mencoba kendati harus memeluk kegagalan berkali-kali.

“Setidaknya kita pernah mencoba” Aku mengatakan hal itu berkali-kali, entah mengatakan kepada tubuhku yang selalu aku paksakan, atau mengatakannya kepada jiwaku yang sudah teramat lelah. 

Bahkan terkadang, aku berimajinasi bahwa diriku mati, entah terbunuh atau bunuh diri. Namun aku juga tidak tahu kenapa aku masih hidup, apa mungkin aku yang terlalu pengecut untuk mati? Atau apa mungkin itu karena ketidaktahuanku akan kematian itu sendiri? Begitu banyak bayangan, begitu banyak imaji yang nyatanya tidak pernah terealisasi.

Terkadang diriku juga bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi? Dan melalui perenungan yang aku lakukan, sebenarnya jawabannya sederhana, karena aku sudah tidak lagi bersyukur atas apa yang masih aku miliki, aku hidup dari ekspektasi-ekspektasi yang tidak pernah terpenuhi, hal yang pada akhirnya membuat diriku merasa gagal dan tidak pantas untuk hidup.

Padahal dibandingkan orang lain, aku bisa katakan kehidupan yang aku miliki sudah setengah sempurna. Aku memiliki mata yang indah, memiliki ide dan kreatifitas yang kerapkali dibanggakan teman-temanku, aku memiliki tubuh yang sehat, dan setidaknya memiliki latar pendidikan yang baik disaat jutaan orang lain diluar sana hanya bisa memandang manusia-manusia berseragam bagai malaikat yang patut dipuja.

Aku mungkin terlalu bodoh dan hanya melihat gelapnya saja, sebab begitu banyak rahmat yang selama ini aku lupakan dan tidak terjangkau oleh mataku, dan parahnya adalah, terkadang aku tidak peduli, aku egois, mengatakan kepada diriku sendiri bahwa apa yang semestinya aku miliki harus aku miliki. Padahal hal-hal itu berujung membuatku melayang pada dunia ekspektasi, dan terlalu banyak ekspektasi pada akhirnya membuat kita terjun bebas ke jurang depresi.

Dengan kegagalan yang menimpaku, kemalangan, ekspektasi yang tidak pernah terpenuhi kadang membuatku berkata bahwasanya aku tidak pernah pantas untuk dilahirkan. Aku kerapkali berharap demikian, padahal aku selalu mengingat bahwasanya aku dulu hanyalah satu dari sekian milyaran sperma yang memperjuangkan ovarium, dan pada saat itu, aku menang.

Benar, aku menang. Begitu banyak sperma yang mati karena kelelahan berenang dengan jarak yang teramat-amat jauh, namun lihatlah, dulu saat aku berbentuk sperma memenangkan pertempurannnya, yang berarti dalam hal ini, aku adalah seorang pemenang, namun keluar dari vagina seorang wanita, kenapa aku malah menjadi seorang pecundang?

Atau mungkin semua perenunganku benar adanya, bahwa sebenarnya kalah dan menang hanya sudut pandang manusia belaka. Atau mungkin sebenarnya kemenangan dan kekalahan itu hanyalah imaji yang otak kita ciptakan, sebab  bagaimanapun, kemenangan dan kekalahan itu hanyalah sebuah relativitas. Dan dalam dunia relativitas, tidak pernah ada yang namanya menang, dan tidak pernah ada yang namanya kalah.

Tulisan ini aku tulis saat aku merasa kalah, melihat dunia dari sudut mata seorang lelaki yang pernah mencoba namun kembali terjatuh dan terluka. Mungkin aku akan mencoba lagi, berharap memiliki peruntungan untuk bisa menjadi seorang pemenang yang diriku ekspektasikan. Namun untuk saat ini, sebelum kesuksesan itu bisa kita gapai, mau tidak mau aku harus berenang di lumpur kegagalan terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya menemukan makna dari kesuksesan yang kita miliki. 

Sebab bagaimanapun, apapun yang kita miliki akan berharga bila kita merasa memperjuangkannya, sampai suatu titik kita akan menarik napas panjang dan berkata…aku memang pantas mendapatkannya.



Share: